Novel fatal frame chapter 1
Re: [Translation]FATAL FRAME - Hinasaki Mafuyu
1
“Apakah Anda bersedia menovelkan game?”
Demikianlah bunyi telepon yang kuterima dari Pak Ioka hari itu, musim semi, tahun 2002. Dia adalah seorang editor majalah yang telah kukenal saat tengah mencari data untuk pekerjaanku sebelum ini.
Sering sekali sebuah game terkenal dinovelkan untuk menarik fans dari kalangan non-gamers. Bahkan aku yang bukan seorang gamers pun tahu hal itu. Tapi kupikir, yang berhak menulis novel semacam itu hanyalah para penulis skenarionya, atau orang-orang yang memang terlibat dalam pembuatan game itu.
Waktu aku menanyakan itu pada Pak Ioka, dia menjawab,
“Tidak juga. Kebanyakan novel seperti ini sebenarnya menggunakan penulis orang luar, agar memiliki nuansa yang agak berbeda dengan gamenya. Perusahaan kami saat ini sedang mencari tenaga penulis baru.”
“Tapi, apa tidak apa-apa saya yang ditunjuk?”
“Tentu saja. Saya ingat, Anda pernah bercerita bahwa Anda pernah menulis novel semasa sekolah. Karena itulah saya langsung menelepon Anda.”
Aku adalah seorang Jurnalis Freelance. Tapi, pada masa kuliah, aku memang pernah belajar menulis novel, dan juga terlibat dalam pembuatan doujinshi. Dan kalau kuingat-ingat, aku memang pernah menceritakannya pada Pak Ioka.
Tapi...itu kan cuma sebatas level amatir saja. Yah...bukannya aku tidak ingin jadi profesional, sih....
Hening beberapa saat, kemudian terdengar suara Pak Ioka dari seberang sana,
“Saya sebenarnya juga tidak enak tiba-tiba minta tolong deperti ini. Maksud saya, Anda kan seorang Jurnalis. Apa...tidak bisa?....”
“Tidak, sama sekali tidak apa-apa. Dengan senang hati!” aku buru-buru menyahut kembali.
“Syukurlah. Kalau begitu, apakah besok Anda ada waktu untuk bertemu dengan para staff lainnya?”
“Ya.”
“Kalau begitu, besok jam 2 siang kita akan bersama-sama mengunjungi Game Maker yang bersangkutan. Kita bertemu jam 1 lewat 50 di stasiun Ichigaya. Bagaimana?”
Aku mengiyakan, lalu setelah memberi salam, aku memutuskan hubungan.
Begitu meletakkan gagang telepon, aku merasakan bulu kudukku berdiri.
Aku telah melakukan...menerima sesuatu yang diluar kemampuanku, itulah sebabnya.
Tidak...daripada itu......Apa betul mereka akan menyerahkan penulisan novel itu kepadaku? Aku yang cuma seorang Jurnalis Freelancer, dan kacangan pula ini?
Tapi, ini sebuah kesempatan besar bagiku. Selama ini aku selalu berangan-angan namaku bisa tercantum di tankoubon, dan bukan cuma sekedar nama inisial di penghujung artikel saja. Mimpiku untuk menerbitkan buku, sepertinya akan jadi bukan sekedar mimpi.
Tapi....
Keesokan harinya, saat akan berangkat ke Ichigaya, adik perempuanku yang tinggal bersama menghentikanku.
“Jangan pergi kesana.” katanya tanpa basa-basi.
Aku sudah tidak memiliki orang tua, dan satu-satunya yang bisa disebut saudara olehku hanyalah adikku ini. Adikku menganggapku bukan hanya sebagai kakak, tapi juga orang tua. Wajar saja.
Walaupun begitu, sulit mengatakannya, tapi aku selalu agak menjaga jarak dengannya. Kenapa bisa begitu, aku tidak tahu.
Aku tidak menanggapinya. Padahal tidak ada salahnya berkata sedikit lembut kepadanya......
Setiap kali berhadapan denganku, adikku selalu sangat diam. Bukan salahnya....Karena setiap kali aku merasa dia ingin bicara, aku selalu tidak menunjukkan minat terhadapnya.....Aku juga tidak pernah membicarakan pekerjaanku padanya. Tentu saja pekerjaan kali ini pun tidak terkecuali.
Tapi kenapa tiba-tiba dia berkata begitu?....
“Kenapa kamu bilang begitu?” tanyaku akhirnya.
“Tidak tahu....tapi....” adikku sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Dia hanya menatapku lekat-lekat, kemudian kembali berkata lirih,
“.....Kumohon.....Jangan pergi.....”
Dia ketakutan. Itu sangat terlihat jelas.
Tapi, saat ini aku belum tahu apa yang dia takutkan.
Aku merasa agak was-was.
Pasti ada sesuatu....atau dia mendapat firasat sesuatu yang akan terjadi, makanya dia sampai ketakutan seperti ini....
Tapi aku segera membuang perasaan itu dari kepalaku.
“Kakak harus pergi. Ini kesempatan baik. Sayang kalau dilewatkan, dan itu berarti aku gagal sebagai seorang pro.” kataku.
Kata-kata itu kuucapkan lebih kepada diriku sendiri. Sekali lagi, aku kembali menjauh dari adikku....Tidak ingin bersentuhan dengan apa yang dia ketahui, ataupun dia cemaskan....
Dan, mengacuhkan kecemasan adikku, aku pun meninggalkan rumah.
***
Untuk mencapai Ichigaya, aku harus menggunakan trem, yang jalurnya termasuk jarang kugunakan.
Saat menuruni tangga stasiun, perasaan aneh muncul di dalam hatiku. Seolah-olah ada sesuatu yang ingin menahanku.
Tidak ada apa-apa. Semua baik-baik saja.
Entah darimana, tiba-tiba terdengar suara itu. Dan itu bukan suara manusia.
Perasaanku semakin tidak enak. Aku melirik sekeliling, dan tiba-tiba saja, sesosok bayangan putih melintas di hadapanku.
Aku langsung menyadarinya.
Suara yang kudengar barusan, dan juga bayangan putih itu bukanlah sesuatu yang bisa didengar maupun dilihat oleh orang biasa.
Begitu memikirkan itu, perasaan tidak enak yang kurasakan tadi semakin bertambah. Nafasku bahkan mulai sesak karenanya. Setelah membeli tiket, aku langsung beristirahat di kursi terdekat yang ada di platform.
Jantungku berdebar keras. Suasana platform di sekelilingku seolah-olah berubah menjadi sebuah gua zaman purbakala. Entah pengaruh stasiun yang jarang kudatangi atau apa, aku merasa seolah-olah terkurung di tempat ini.
Atau lebih tepatnya, tempat ini yang berusaha mengurungku.
Perasaanku benar-benar tidak nyaman.
Aku seperti ditarik ke dalam kegelapan di bawah tanah yang tak berdasar oleh kekuatan jahat yang tidak terlihat.
Aku tidak bisa disini terus......
Aku berdiri dan bersiap melarikan diri dari tempat itu saat kereta yang akan kunaiki akhirnya tiba dengan suara berderu.
Kedatangan kereta itu sepertinya menenangkanku. Aku naik, dan saat tengah mengatur kembali nafasku serta menghapus keringat yang membanjiri wajahku, seseorang memanggil namaku.
Aku menoleh, dan segera melihat Takamine Sensei, seorang pengarang novel terkenal bersama asistennya, Hirasaka Tomoe-san, duduk di bangku dekat situ. Aku langsung menundukkan kepala dalam-dalam.
Takamine Sensei, nama lengkapnya Takamine Junsei, adalah seorang pengarang novel misteri terkenal. Karya-karyanya selalu menjadi best seller.
Aku berkenalan dengan beliau sekitar satu tahun silam. Beliau mengajar di sekolah jurnalistik tempatku belajar. Sebelum itupun aku memang sangat mengaumi karya-karya beliau, sehingga aku mengambil mata kuliah yang diajarnya dengan sangat serius, dan meraih peringkat pertama di akhir tahun ajaran.
Beliau memujiku, dan setelahnya bahkan menawarkan pekerjaan padaku untuk membantunya. Takamine Sensei, selain menulis misteri juga menulis karya non-fiksi. Saat itu ia akan mengumpulkan data ke luar negeri dan membutuhkan seorang asisten.
Diminta tolong begitu oleh orang yang kukagumi, tentu saja kegembiraanku langsung meluap-luap. Tapi, aku juga khawatir. Apa keberadaan bocah berumur 20 tahun yang masih hijau ini bukannya malah jadi penghalang baginya? Aku mengutarakannya pada Takamine Sensei. Beliau kemudian berkata,
“Ikutlah. Kesempatan hanya datang sekali, dan kalau kau tidak menangkapnya, dia akan kabur. Kau punya bakat, karena itulah aku mengajakmu.”
Aku sangat terharu dengan kata-kata itu, kemudian menerima tawarannya dan membantunya mengumpulkan data ke luar negeri. Data-data itu kemudian menjadi novel berjudul ‘Benmei No Kaku’, yang menjadi best seller.
Setelah itupun, Takamine Sensei sering memberikan pekerjaan padaku lewat koneksi-koneksinya, dan aku sudah dianggapnya sebagai murid dalam dunia tulis-menulis novel. Berkat itulah aku bisa sukses sebagai seorang jurnalis, walaupun cuma freelancer seperti ini.
Ngomong-ngomong, Pak Ioka yang akan berurusan denganku sebentar lagi juga dikenalkan oleh Sensei.
“Jangan berdiri terus seperti orang bodoh. Duduklah. Bukan kursiku, sih...” Takamine Sensei menepuk-nepuk kursi di sebelahnya sambil tertawa kecil. Aku tersenyum dan menuruti ajakannya.
“Apa kabar?” tanya Hirasaka-san dari samping Sensei.
Hirasaka Tomoe adalah asisten sekaligus juga sekretaris tetap Takamine Sensei. Umurnya pertengahan 20-an, dan dia lumayan cantik. Dia sangat mengagumi Takamine Sensei, mungkin melebihiku. Begitu lulus kuliah, dia mendatangi Sensei dan setengah memaksa meminta dijadikan asisten Sensei. Begitulah yang dia ceritakan padaku....
Sedangkan menurut Takamine Sensei,
“Aku memaksanya menjadi asistenku, karena nilainya sangat baik. Padahal dia sudah dapat posisi bagus dimana-mana.”
Aku tidak tahu mana yang benar, tapi aku yakin, dari kedua versi itu pasti masing-masing ada yang mengandung kebenaran.
Hirasaka-san, tentu saja, juga mengarang novel. Namanya cukup terkenal sebagai pengarang baru berbakat yang beberapa kali memenangkan penghargaan. Aku pernah membaca karya-karyanya, dan harus kuakui, sebagai seorang wanita, dia sangat hebat.
“Kamu ada pekerjaan, ya?” pertanyaan Takamine Sensei membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru menjawabnya dan menjelaskan asal-muasal kedatanganku ke stasiun ini.
“Hebat! Kalau begitu, ini akan jadi debutmu, ya?” Hirasaka-san memujiku. Cukup keras, karena para penumpang yang lain, walau kereta ini sedikit penumpangnya, langsung menoleh ke arah kami.
Langganan:
Postingan (Atom)