Blogger Templates

novel fatal frame chapter 5

Re: [Translation]FATAL FRAME - Hinasaki Mafuyu

Aku pulang dengan jantung berdetak tak karuan.

Begitu tiba di depan rumah, aku menarik nafas panjang.

Tapi disana, aku langsung menyadari adanya keanehan.

Di depan pintu seharusnya tergantung papan nama keluarga yang ditulis Miku dengan pena, bertuliskan nama kami berdua, ‘Hinasaki Mafuyu-Miku’

Tapi, yang kuhadapi adalah papan nama dengan tulisan tanganku, bertuliskan ‘Hinasaki’ saja.

Dadaku terasa sesak. Aku rasanya mau pingsan. Dengan langkah sempoyongan aku memasuki kamar apartemenku.

Kamar yang biasanya bersih dan senantiasa dirapikan oleh Miku, sekarang penuh sampah dan sisa-sisa makanan. Khas kamar yang ditinggali seorang bujangan.

Tidak ada tanda-tanda Miku pernah tinggal disini.

Mug cup kesayangan Miku, sikat gigi, pakaian, meja belajar...Semuanya menghilang.
Tidak...lebih tepat dikatakan, seolah-olah sejak awal memang tidak ada. Hanya barang-barangku yang ada di kamar ini.

Aku harus membicarakan ini pada seseorang.

Tapi aku langsung menyadari itu percuma, karena aku tidak punya orang yang bisa diajak bicara dengan tenang. Apalagi untuk urusan seperti ini.
Kami bersaudara selalu berusaha menjaga jarak dengan orang lain. Sifat kami yang agak tertutup itu memang sama, tapi ada hal lain yang menyebabkan kami bersikap begitu.

Kekuatan kami.

Kami tidak ingin kekuatan spiritual kami menimbulkan salah paham dan masalah.

Aku memang memilikinya, tapi Miku sepertinya mewarisi kekuatan itu lebih banyak dan lebih kuat daripada diriku.

Kekuatan ini adalah ‘warisan’ dari ibu kami yang telah meninggal dunia.

Meninggal dunia.....

Tidak.....

Dia bunuh diri.....

Ibu lelah dengan kekuatan yang dimilikinya. Penderitaannya bertambah setelah mengetahui aku dan Miku juga mewarisi kekuatan itu. Dia memilih menghabisi dirinya sendiri dalam keadaan agak kurang waras.

Aku tidak pernah membencinya karena telah meninggalkan kami begitu saja.

Aku merasa, apa boleh buat. Mungkin ini yang terbaik baginya. Bahwa Ibu bisa bertahan sampai sebegitu lamanya saja sudah merupakan keajaiban tersendiri.

Aku tidak pernah memastikannya, tapi kurasa Miku pun berpikir demikian.

Apalagi kami sadar betul, alasan terbesar Ibu bunuh diri adalah keberadaan kami berdua.

Tentu saja kami tidak pernah membicarakannya pada orang lain.

Bagi anak-anak seumuran Miku, memiliki kekuatan spiritual yang tinggi mungkin bisa dibilang merupakan suatu impian. Tapi itu karena mereka tidak tahu beban yang harus ditanggung karena memiliki kekuatan semacam itu.

Mereka tidak tahu bagaimana menakutkan dan menyesakkannya melihat atau merasakan sesuatu yang sama sekali tidak bisa dilihat oleh orang biasa.

Yang lebih menyakitkan, tidak ada yang mampu memahami atau bahkan membayangkan bagaimana perasaan orang yang memiliki kekuatan seperti itu.

Padangan sinis orang-orang, tatapan yang seolah mengatakan kami bukanlah manusia, lalu akhirnya tidak sudi lagi melihat kami......seperti itulah dunia yang harus kami hadapi.

Untungnya, aku dan Miku tidak sampai ke tahap separah itu.

Aku mengetahui ini semua dari Ibu, yang tak pernah berhenti menceritakan hal-hal semacam itu.

Ya....

Semua yang dialaminya semasa muda......

Hingga saat ini, aku masih bisa mengingat dengan jelas wajah Miku, yang berurai air mata setiap kali mendengar cerita Ibu.

Mungkin karena itulah, pada waktu Ibu meninggal dunia, kami berdua merasa lega dibalik kesedihan kami.

Karena dengan begini, Ibu akhirnya bisa beristirahat dalam kedamaian....

Itu jugalah latar belakang kebiasaan kami berdua yang senantiasa menjaga jarak dengan orang lain.
Dan juga alasan Miku mempercayaiku lebih dari siapapun....

Tapi apa yang kulakukan?

Aku malah menghindarinya.

Aku takut.

Miku merana karena kekuatannya. Sedangkan aku....aku merana karena tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuknya.....
Dia membutuhkanku, tapi aku tidak mampu membantunya, dan akhirnya malah menjaga jarak dengannya....Padahal.....dia pasti juga menderita dan kesepian seperti diriku....

Mendadak kejadian tadi siang terlintas di benakku.

Miku melarangku pergi ke tempat pertemuan.

Dia pasti telah merasakan bahwa akan terjadi persitiwa seperti ini.

Kalau saja waktu itu aku menuruti kata-katanya.......hal ini tidak perlu terjadi....

Tapi aku langsung menepis pikiran itu.

Walaupun aku tidak pergi, entah kenapa, aku merasa, suatu saat pasti akan ada kejadian macam ini.

Karena walaupun aku tidak pergi, game berjudul ‘Zero’ dimana ada tokoh yang persis sama dengan aku dan Miku tetap ada. Dan tetap akan diluncurkan ke publik tanpa sepengetahuan kami.

Dan cepat atau lambat, berita itu pasti akan sampai ke telinga kami, membuat kami terlibat di dalamnya. Itu pasti.

Apalagi, yang muncul di game itu bukan cuma kami berdua. Ada juga Takamine Sensei dan Hirasaka-san.

Takamine Sensei?

Begitu teringat nama beliau, aku langsung memeriksa rak bukuku. Aku yakin betul disana ada beberapa buah buku karangan beliau.
Tapi, saat aku melihatnya, di tempat yang harusnya ada buku-buku itu, ada buku karangan pengarang lain. Tentu saja, buku-buku itu memang milikku juga, tapi letak mereka berbeda dengan yang selama ini kutahu.

Walaupun tahu sia-sia saja, aku membongkar rak buku itu dan mencari-cari novel karangan Takamine Sensei.

Ini semua tidak masuk akal.

Maksudku, apa mungkin seorang pengarang novel best seller menghilang begitu saja tanpa jejak sama sekali?
Tapi, pikiran itu tidak bertahan lama.

Kekuatan spiritualku yang bereaksi ini adalah buktinya. Aku tertawa pahit dan mulai mengembalikan buku-buku yang kuacak-acak ke tempatnya semula. Saat akan memasukkan buku terakhir, aku menyadari buku itu adalah daftar nama dan alamat para pengarang terkenal yang diterbitkan oleh asosiasi pengarang.

Orang awam sepertiku sebenarnya tidak boleh memiliki ini sembarangan, tetapi berkat Takamine Sensei, yang meminta secara diam-diam pada orang asosiasi, aku memperolehnya pada salah satu pesta yang diadakan beliau.

Aku membolak-balik buku itu, dan dengan kecewa menyadari bahwa nama Takamine Junsei, yang seharusnya tertera disana sebagai salah satu novelis terkenal, hilang begitu saja. Sama seperti yang terjadi di buku alamatku. Hilang, seolah-olah tidak pernah tercantum disana.

Aku terduduk dengan lemas.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Kehilangan semua harapan, aku mulai diserang perasaan kesepian yang amat sangat.

Hingga saat ini, aku memiliki Miku di sisiku.

Aku tahu dia kesepian, tapi, bukannya menemani dan menyembuhkan kesedihannya, aku malah menganggap dirinya sebagai tempat pelarian, dengan berpikir, ‘Untunglah aku tidak seperti dia.’

Air mataku mulai menetes memikirkan hal itu.

Untuk pertama kalinya, aku mulai bisa merasakan kesepian yang selama ini dialami Miku.

Dia menderita akibat kekuatan itu. Satu-satunya orang yang mengerti itu hanya aku, tapi aku malah menghindarinya.

Betapa kesepiannya dia selama ini....

Betapa merananya dia seorang diri menahan segala penderitaannya...

Dadaku sesak memikirkan bagaimana perasaan Miku selama ini.

Untuk pertama kalinya aku mengerti apa yang dia rasakan....pada saat dia menghilang dari hadapanku.....

“Tidak! Miku tidak mungkin hilang begitu saja!” teriakku tiba-tiba.

Miku tidak menghilang! Aku pasti akan menemukannya dan membawanya kembali.

Kalau aku terus-terusan begini, membiarkan Miku begitu saja dan tidak melakukan apa-apa sama sekali, aku pasti akan menyesal seumur hidup.
Aku pasti akan menyelamatkannya!
Hanya aku, Kakaknya-lah yang bisa melakukan itu.

Aku menggeretakkan gigiku dan mulai berpikir keras mencari cara untuk menyelamatkannya.

Sebuah ide langsung terlintas di kepalaku.

Game ‘Zero’ itu.

Game itu adalah sebab musabab semua masalah aneh bin ajaib ini.

Aku berdiri dan buru-buru mengambil tas yang tadi kulempar begitu saja di depan pintu, kemudian mengeluarkan DVD game itu.
Aku menghidupkan TV 14 inchiku, kemudian mengaktifkan Playstation 2 yang sudah tersambung dengan TV.
Dengan berdebar-debar, aku memulai permainanku.

novel fatal frame chapter 4

Re: [Translation]FATAL FRAME - Hinasaki Mafuyu

Semua tulisan di buku alamatku kutulis menggunakan pensil agar mudah dihapus jika ada yang ingin diubah. Tapi, alamat dan nomor telepon mereka berdua hilang begitu saja dari posisinya, tanpa ada bekas dihapus.

Seolah-olah memang tidak ada sejak awal.

“Hinasaki-san, bagaimana kalau Anda telepon adik Anda dan tanyakan pada dia?” Pak Ioka mengusulkan.

Dengan terburu-buru aku kembali memeriksa HPku dan mencari nomor HP Miku. Tapi, nomor itu pun hilang.
Memikirkan kemungkinan nomor itu tak sengaja terhapus olehku sendiri, aku mengingat-ingat nomor Miku dan mencoba menghubunginya. Tapi, berapa kalipun kucoba, yang menerima malah suara komputer yang berkata, ‘Nomor yang Anda hubungi tidak tersambung.’

“Tidak mungkin.....Sampai Miku pun ikut menghilang juga?....”

Ini merupakan pukulan yang sangat keras bagiku.

Aku menyandarkan kepalaku di atas meja dengan lunglai.

Kepalaku rasanya mau pecah.

Aku tidak mengerti sama sekali. Kondisi ini seolah-olah membuatku jadi satu-satunya pihak yang salah paham di sini.

“Apa semua yang ada di game ‘Zero’ ini benar-benar fiksi belaka?” terdengar suara Pak Ioka bertanya, entah pada siapa.

Tidak ada yang menjawab, dan keheningan yang mencekam kembali menyelimuti ruangan.

Kemudian, tiba-tiba;

“Sebetulnya.....” Pak Shibaguchi membuka mulut. Aku langsung mengangkat kepala dan menatapnya.

“Tidak....Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, semua karakter disana murni fiksi...”

“Lalu Saya....”

Pak Shibaguchi mengangkat kedua tangannya menahan protesku. “Tu...tunggu dulu! Memang, dengan adanya Anda di hadapan kami seperti, mungkin sulit dipercaya. Tapi, sebenarnya, rumah yang jadi setting dalam game ini benar-benar ada. Coba Anda buka halaman 3.”

Aku buru-buru membalik halaman dokumen di hadapanku, dan menghadapi sinopsis cerita ‘Zero’.

Himuro Mansion
Tempat ini memiliki segudang legenda dan kabar angin yang tidak menyenangkan. Dikatakan sebagai tempat pembawa sial.
Kepala keluarga Himuro yang terakhir dikabarkan gila dan membunuh seluruh penghuni rumah ini.
Keluarga yang menempati rumah ini setelahnya mengalami ‘Kamikakushi’.
Setelahnya, sering ditemukan mayat terpotong-potong di sekitarnya selama beberapa tahun belakangan ini.
Diduga kasus ini erat kaitannya dengan rumah itu.
Takamine Junsei Sang novelis terkenal tertarik akan legenda ini dan memutuskan untuk menjadikannya bahan novel selanjutnya.
Dengan ditemani asistennya, Hirasaka Tomoe dan editornya, Ogata Kouji, Takamine mengujungi Himuro Mansion.
Tetapi sejak itu, kabar mereka tidak terdengar lagi.

“Tempat yang namanya Himuro Mansion ini benar-benar ada?” tanyaku pada Shibaguchi-san.

“Di tempat kelahiran Saya ada tempat yang sangat mirip dengan rumah itu. Waktu Saya masih kecil, Saya dilarang mendekati tempat itu. Kami menjulukinya rumah hantu. Rumah itu sampai sekarang masih berdiri tegak, kata ibu Saya waktu saya tanyakan lewat telepon belum lama ini. Padahal sudah 20 tahun berlalu. Karena itu, Saya jadikan ide untuk game ini saja.”

“Tempat itu memang hebat. Bisa dibilang itu Master Piece Saya.” Pak Kitaike berkata sambil tersenyum tipis.

Master Piece?

Apa aku salah dengar yang barusan itu?

Aku ingin bertanya untuk memastikannya, tapi tidak menemukan kata-kata dan alasan yang tepat untuk bertanya, jadi memutuskan diam saja.

“Waktu Saya masih kecil, rumah itu dijaga oleh seorang nenek. Tapi dia sudah meninggal sepuluh tahun silam, jadi sekarang rumah itu kosong sama sekali. Jadi, waktu survey mencari datanya, Saya menghubungi real estate sekitar situ. Tapi...”

“Ada sesuatu yang terjadi?”

“Yah....Bukan hal yang penting...Tapi....” Shibaguchi-san kelihatan enggan melanjutkan ucapannya. Tsukihara-san kemudian melanjutkan,
“Pada waktu Anda melakukan survey itulah Anda mencapat ilham karakter-karakter game ini. Iya, kan?”

“Ya.”

“Jadi, pada waktu berada di rumah itu Anda mendadak terbayang dan menciptakan Miku, si karakter utama, Mafuyu, sang Kakak yang bernama sama dengan Hinasaki-san, dan juga novelis bernama Takamine itu?” pak Ioka menyimpulkan.

Pak Shibaguchi mengangguk.

“Agak sulit dipercaya memang, tapi entah kenapa, saat berjalan di dalam rumah itu, mendadak saya mendapat ide, dan nama-nama para karakter utama itupun bermunculan di kepala Saya. Waktu itu Saya buru-buru mencatatnya supaya tidak lupa. Iya, kan Pak Kitaike?”

“Ya. Waktu itu Saya, Pak Shibaguchi dan seorang illustrator menjelajahi rumah itu menggunakan senter, karena walaupun masih siang, suasana di dalam sana gelap sekali. Pak Shibaguchi tiba-tiba berjongkok dan mulai mencatat sesuatu di notesnya. Waktu Saya coba mengintip, ternyata dia menulis beberapa nama. Nama-nama itulah yang kemudian dipakai dalam game ini. Nama-nama itu agak tidak lazim, jadi Saya sama sekali tidak menyangka ada orang yang bernama sama....Selain itu....”

“Ada lagi yang lain?” tanya Pak Ioka. Kali ini Pak Shibaguchi yang menjawab,

“Saya mendapat ilham nama disana. Tapi bukan hanya itu yang aneh. Ilustrator yang melihat nama yang saya tulis itu mendadak juga mendapat ide dan langsung membuat sketsa wajah para karakter itu. Sketsa itulah yang kemudian jadi dasar pembuatan polygonnya.”

“Dengan kata lain, nama dan wajah karakter Hinasaki Mafuyu yang persis dengan Hinasaki-san diciptakan pada waktu yang bersamaan, di tempat yang jadi setting game ini, begitu?”

Mendengar pertanyaan Pak Ioka itu, Pak Shibaguchi dan Pak Kitaike saling berpandangan dan menggelengkan kepala. Sepertinya mereka sudah kehabisan kata-kata.

“Sepertinya kita memang harus pergi kesana sendiri, ya...” Pak Ioka bergumam dengan suara rendah.

“Pergi...Kemana?” tanya Tsukihara-san.

“Tentu saja ke rumah bermasalah itu. Habis, aneh sekali, kan? Begitu ke rumah itu, tiba-tiba saja Pak Shibaguchi dan illustrator mendapat ide, yang bisa sebegitu persisnya dengan kondisi orang sesungguhnya. Menurut Saya, ini sudah tidak bisa dibilang kebetulan.”

“Eng...Saya tidak bermaksud memanas-manasi, lho. Itu kenyataan....” Pak Kitaike berkata.

“Tidak...Maaf. Soalnya terlalu banyak hal aneh disini. Begini, menurut Saya, semua misteri ini mungkin bisa terjawab jika kita pergi kesana. Iya, kan Hinasaki-san?” Pak Ioka menatapku. Aku tidak menjawab, tapi mengangguk dengan ragu-ragu.

Rumah itu memang agak mengganjal di pikiranku.

Tapi ini bukan karena semangat pekerjaan.

Takamine Sensei, Hirasaka-san, bahkan adikku, Miku, semua menghilang begitu saja, seolah-oleh mereka hanyalah khayalan belaka.
Aku merasa ditinggalkan seorang diri di dunia nyata, sementara mereka masuk ke dunia game yang berjudul ‘Zero’.

Aku ingin segera pulang dan melihat wajah Miku. Aku juga ingin memastikan keberadaan Takamine Sensei dan Hirasaka-san. Kepalaku sepertinya tidak sanggup untuk memikirkan hal lain selama belum memeriksa dan memastikan kedua hal itu.

“Maaf, Saya agak kurang enak badan. Saya boleh pamit duluan?” bisikku pada Pak Ioka. Pak Ioka, yang sepertinya sudah tahu perasaanku memandangiku dengan khawatir.

“Baik, saya mengerti. Pokoknya, Anda bawa saja dulu dokumen-dokumen ini dan pelajari di rumah.”

“Ah, kalau begitu, sekalian saja anda bawa pulang beta version ini. Ini sudah nyaris mendekati versi sempurnanya.” Tsukihara-san memberikan sebuah DVD padaku.

Aku menerima dokumen-dokumen dan DVD itu kemudian bergegas keluar dari kantor game maker itu seperti sedang dikejar-kejar sesuatu. Pak Ioka ikut pulang denganku.

Begitu tiba di Ichigaya, aku segera meninggalkan Pak Ioka dan menuruni tangga ke stasiun.

“Besok Saya akan melepon lagi. Pikirkan mengenai rencana ke rumah bermasalah itu, ya!!” samar-samar Aku mendengar Pak Ioka berkata begitu di belakangku.

novel fatal frame chapter 3

Re: [Translation]FATAL FRAME - Hinasaki Mafuyu

Hinasaki Miku
17 tahun.
Memiliki kekuatan spiritual yang kuat, yang merupakan kekuatan turun-temurun di keluarga Hinasaki, sehingga memungkinkannya melihat hal-hal yang seharusnya tidak terlihat. Ia hidup seperti gadis remaja biasa, tetapi di lubuk hatinya menyimpan perasaan takut dan tidak pernah membuka hati sepenuhnya, kecuali kepada kakaknya.
Hinasaki Mafuyu
21 tahun, Jurnalis.
Kakak kandung Miku. Satu-satunya orang yang tahu mengenai kekuatan Miku. Satu-satunya keluarga bagi Miku yang telah ditinggal mati oleh kedua orangtuanya.

Aku merinding membacanya.

Ini benar-benar kondisi kami berdua.

Tapi, ada yang aneh.

Kami tidak pernah sekalipun membicarakan kekuatan kami pada orang lain. Dan, ya, tentu saja, kami menyembunyikan fakta bahwa keluarga Hinasaki adalah keluarga memiliki kekuatan spiritual yang kuat.

“Kebetulan yang luar biasa.” komentar Pak Ioka. Pak Shibaguchi mengangguk dan melanjutkan,

“Memang aneh. Saya memang penulis ceritanya, tapi saya berani jamin bahwa semua karakter yang ada disini adalah murni ciptaan Saya sendiri. Dan Saya baru sekali ini bertemu dengan Hinasaki-san, jadi, maaf saja, baru kali ini juga mendengar namanya.”

Dia tidak terdengar seperti orang yang sedang bohong.

Aku sendiri juga menganggap, kalau hanya wajahku saja, mungkin dia pernah melihat aku atau fotoku entah dimana kemudian dijadikan model. Tapi, bagaimana dengan Miku?

Apa memang pernah terlihat juga, atau mungkin kebetulan memang ada orang yang mirip dengan dia kemudian dijadikan model?

Yang lebih penting lagi, kenapa rahasia kami berdua, kekuatan spiritual itu bisa ketahuan juga? Apa ini masih bisa disebut kebetulan?
Seolah meledekku, tiba-tiba aku kembali melihat hal yang mengejutkan di data karakter NPC (Non Play Character) yang ada di bawah keterangan karakter utama.

Takamine Junsei.
42 tahun, pengarang novel misteri.
Seorang pengarang terkenal yang karya-karyanya mencapai best seller. Selain misteri, juga mengarang novel non-fiksi. Berkenalan dengan Mafuyu saat tengah mencari bahan untuk pembuatan novelnya, dan sejak saat itu sering membantu agar Mafuyu mendapat pekerjaan.

Hirasaka Tomoe
28 tahun. Asisten Takamine
Memilih untuk menjadi asisten Takamine, dan belajar menulis novel di bawah bimbingannya.

Takamine Sensei adalah orang terkenal yang sering muncul di televisi atau media cetak. Masuk akal kalau beliau juga jadi model untuk karakter game ini. Hirasaka-san juga, pasti pernah muncul di majalah paling tidak.

Tapi, kalau memang beliau dipakai juga untuk model, kenapa sampai hubungan kami juga digambarkan begitu persisnya?

Sekonyong-konyong aku mendapat mulai mendapat gambaran apa yang sedang terjadi.

“Ini ide dari Takamine Sensei, ya?”

“Eh? Maksud Anda?...” Pak Shibaguchi tidak mengerti.

“Ide naskah cerita game ini. Ide awalnya dari Takamine Sensei, kan? Tugas ini diserahkan pada Saya juga karena rekomendasi beliau, bukan?” aku bertanya pada Pak Ioka.

Itu satu-satunya penjelasan paling masuk akal.

Karena aku pernah menyinggung kalau adikku punya kekuatan spiritual yang kuat pada Takamine Sensei.

Tidak salah lagi.

Hanya beliaulah orang luar yang tahu sampai sedetil ini tentang kami bersaudara.

Tapi, kalau memang begitu, aku harus protes keras untuk satu hal.

Aku sudah berkata, dan bahkan memohon pada beliau untuk merahasiakan tentang kami. Terutama tentang Miku yang kekuatannya jauh di atasku.

Dan sekarang, cerita itu hendak dijadikan ide cerita game.....

Aku merasa agak marah.

Walaupun beliau naik sekali padaku dan sering membantuku dalam mencarikan pekerjaan, ini sih namanya pelanggaran privasi orang lain.
Paling tidak, samarkanlah nama dan kondisi kehidupan sehari-hari kami.

Itukah sebabnya Sensei meminta Pak Ioka untuk menawarkan pekerjaan ini kepadaku? Jadi, pertemuan kami di kereta tadi bukanlah kebetulan?
Beliau mengetahui waktu dan tempat pertemuanku, kemudian menunggu, ingin bertemu denganku?

“Bagaimanpun juga, menurut saya ini melanggar privasi orang lain.” ucapku sambil berusaha menahan amarah.

“Tunggu dulu!! Kami benar-benar tidak tahu apa-apa. Ini kebetulan!” ujar Pak Shibaguchi cepat-cepat. Dia menatap Pak Kitaike untuk minta dukungan.

“Tentu saja.” jawab Pak Kitaike tenang.

Bagiku, sikapnya yang tenang itu malah menambah kekesalanku. “Kalian merencanakan ini dengan Takamine Sensei, bukan? Saya bertemu dengannya di kereta tadi.”

“Maaf, tapi siapa Takamine Sensei yang Anda maksud itu?” Pak Kitaike bertanya padaku dengan wajah serius.

“Eh?..Siapa...” aku tak melanjutkan ucapanku.

Walaupun dia orang yang kerjanya berkecimpung di dunia game, mana mungkin dia tidak mengenal Takamine Junsei? Apalagi mereka juga memakai beliau dan Hirasaka-san di dalam game ini. Wajah polygon mereka juga sama persis dengan aslinya.

Aku menatap Pak Ioka dengan kebingungan luar biasa. Tapi bukan dukungan yang kuperoleh, dia malah balik bertanya,

“Tokoh Takamine Junsei ini....ada model aslinya?”

“Pak Ioka!?”

Apa-apaan ini? Kalau hanya Takamine Sensei tak ada hubungannya dengan diberikannya pekerjaan ini padaku, masih mending. Tapi kalau melihat gelagat Pak Ioka, sepertinya orang bernama Takamine Junsei itu tidak pernah eksis.

Aku bingung. Sangat bingung.
Pak Ioka sepertinya melihat gelagat itu, sehingga dia langsung bertanya pada ketiga orang itu,

“Apakah Takamine Junsei ini menggunakan model orang yang benar-benar ada?” dia menatap Tsukihara-san, Pak Kitaike dan Pak Shibaguchi bergantian.

Mereka bertiga diam sejenak, kemudian Pak Shibaguchi memecahkan keheningan yang mencekam itu,

“Itu sama sekali tidak mungkin. Saya sudah bilang, bukan? Semua tokoh yang ada disini murni ciptaan Saya.”

“Ti...Tidak mungkin Anda sekalian tidak mengenal Takamine Sensei. Takamine Junsei, pengarang novel terkenal yang karyanya selalu menjadi best seller. Jika bukan begitu, bagaimana mungkin Saya bisa...menjadi karakter di game hingga sedetil ini?”

“Saya juga kaget. Jika Saya mengenal Anda, tidak mungkin Saya mentah-mentah meniru seperti ini. Pasti paling tidak akan Saya ubah wajah dan latar belakang kehidupannya.” ujar Pak Shibaguchi. Pak Kitaike kemudian menimpali,

“Itu benar. Kami sama sekali tidak mengetahui tentang Anda sebelum ini. Selain itu, Takamine Junsei juga hanyalah tokoh fiktif belaka. Kami tidak menggunakan model apapun untuk itu.”

Entah kenapa, dia terlihat begitu tenang saat mengatakan itu. Berbeda dengan Pak Shibaguchi, sepertinya dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi ini. Apa orang-orang yang berprofesi sebagai produser game itu memang seperti ini, ya?

“Jadi, menurut Anda, ini semua hanyalah fiksi belaka,begitu?...”

Suaraku bergetar karena amarah, aku tahu itu. Apa boleh buat. Aku tak mampu bermanis-manis menahannya lagi.

“Hinasaki-san, tolong tenang dahulu. Saya yakin ini hanya kebetulan. Apalagi selain itu? Kalau kami tahu bahwa karakter di game ini ternyata sebegitu miripnya dengan Anda, kami pasti akan memberitahukannya dahulu sewaktu mengontak Anda untuk menawarkan pekerjaan ini.”

“Lalu, bagaimana dengan Takamine Sensei?”

“Makanya, Saya bahkan tidak tahu ada pengarang novel bernama Takamine.” Pak Ioka berkata dengan serius.

Aneh!

Amarahku seperti tertelan oleh sesuatu yang kelam, dan berganti dengan perasaan was-was. Kalaupun ini semua cuma akal-akalan untuk mengerjaiku, untuk apa?

“Maaf...Apa ada komputer yang bisa akses ke internet?” tanyaku akhirnya.

“Apa yang hendak Anda lakukan?” Pak Ioka kelihatan khawatir.

“Mencari data mengenai Takamine Sensei. Dengan begitu semua akan jelas.”

“Tapi....walaupun begitu juga.....” sebelum Pak Ioka selesai berkata, Pak Kitaike memotong,

“Tidak apa-apa, kan? Silakan.”

Tsukihara-san segera pergi dan mengambil sebuah mobile persocon. Setelah internet mulai terkoneksi, aku masuk ke websearch, mengetikkan [Takamine Junsei], kemudian menekan enter. Takamine Sensei orang terkenal, jadi pasti banyak website yang menyebut nama beliau.

Betapa kagetnya aku ketika hasilnya ternyata justru kebalikannya.

Layar malah menunjukkan tulisan
HASIL: 0

Aku tidak mau menyerah dan mencoba memasukkan nama [Hirasaka Tomoe]. Karena namanya lebih umum, kali ini ada hasilnya. Tetapi, bukan mengenai Hirasaka-san yang kukenal. Aku mencoba sekali lagi, setelah memastikan dulu apa nama yang kuketik benar, tapi hasilnya tetap saja nihil.

Aku mencoba akses ke websearch lainnya, tapi tetap saja tidak ada hasil. Bahkan saat aku mencoba akses ke webstore pun, tidak ada satu pun karya Takamine Junsei disana.

“Tidak mungkin.....”

Aku mengecek daftar terbitan buku-buku, baik yang terbaru maupun yang lama. Karya-karya Takamine Sensei menghilang bagaikan ditelan bumi.
Ini seperti.....orang bernama Takamine Junsei tidak pernah eksis di dunia ini.

“Ini tidak mungkin....Pak Ioka...Tidak mungkin Anda tidak mengenal Takamine Sensei. Beliau yang mengenalkan Anda kepada Saya, bukan?!” aku menatap Pak Ioka dengan ekspresi nyaris putus asa. Tapi, Pak Ioka tetap dengan ekspresinya semula, ekspresi tidak mengerti apa-apa.

Pandangan mataku rasanya jadi gelap.

“Saya bertemu beliau di kereta tadi. Hirasaka-san juga bersama Beliau. Betul!”

Aku tidak bohong....Percayalah....

Aku menatap para game maker itu sambil terus berdoa seperti itu di dalam hati.

“Hinasaki-san, apa Anda punya alamat atau nomor telepon Takamine Sensei yang Anda maksud itu?” Pak Kitaike bertanya dengan tenang.

Oh, ya! Itu bisa dicoba juga!

Aku mengambil HP dari dalam tas dan memeriksa phonebooknya. Aku mencatat nomor telepon tempat kerja dan kediaman Takamine Sensei disana. Sekalian dengan nomor telepon rumah Hirasaka-san juga.

Aku yakin telah mencatatnya, tapi, dicari bagaimanapun juga, nomor-nomor itu tidak ada sama sekali di HPku.

Aku kembali membongkar tasku dan mengambil buku alamat yang biasa kubawa-bawa. Tapi, hasilnya sama saja.

novel fatal frame chapter 1

Novel fatal frame chapter 1
Re: [Translation]FATAL FRAME - Hinasaki Mafuyu
1

“Apakah Anda bersedia menovelkan game?”

Demikianlah bunyi telepon yang kuterima dari Pak Ioka hari itu, musim semi, tahun 2002. Dia adalah seorang editor majalah yang telah kukenal saat tengah mencari data untuk pekerjaanku sebelum ini.

Sering sekali sebuah game terkenal dinovelkan untuk menarik fans dari kalangan non-gamers. Bahkan aku yang bukan seorang gamers pun tahu hal itu. Tapi kupikir, yang berhak menulis novel semacam itu hanyalah para penulis skenarionya, atau orang-orang yang memang terlibat dalam pembuatan game itu.

Waktu aku menanyakan itu pada Pak Ioka, dia menjawab,

“Tidak juga. Kebanyakan novel seperti ini sebenarnya menggunakan penulis orang luar, agar memiliki nuansa yang agak berbeda dengan gamenya. Perusahaan kami saat ini sedang mencari tenaga penulis baru.”

“Tapi, apa tidak apa-apa saya yang ditunjuk?”

“Tentu saja. Saya ingat, Anda pernah bercerita bahwa Anda pernah menulis novel semasa sekolah. Karena itulah saya langsung menelepon Anda.”

Aku adalah seorang Jurnalis Freelance. Tapi, pada masa kuliah, aku memang pernah belajar menulis novel, dan juga terlibat dalam pembuatan doujinshi. Dan kalau kuingat-ingat, aku memang pernah menceritakannya pada Pak Ioka.
Tapi...itu kan cuma sebatas level amatir saja. Yah...bukannya aku tidak ingin jadi profesional, sih....

Hening beberapa saat, kemudian terdengar suara Pak Ioka dari seberang sana,

“Saya sebenarnya juga tidak enak tiba-tiba minta tolong deperti ini. Maksud saya, Anda kan seorang Jurnalis. Apa...tidak bisa?....”

“Tidak, sama sekali tidak apa-apa. Dengan senang hati!” aku buru-buru menyahut kembali.

“Syukurlah. Kalau begitu, apakah besok Anda ada waktu untuk bertemu dengan para staff lainnya?”

“Ya.”

“Kalau begitu, besok jam 2 siang kita akan bersama-sama mengunjungi Game Maker yang bersangkutan. Kita bertemu jam 1 lewat 50 di stasiun Ichigaya. Bagaimana?”

Aku mengiyakan, lalu setelah memberi salam, aku memutuskan hubungan.
Begitu meletakkan gagang telepon, aku merasakan bulu kudukku berdiri.

Aku telah melakukan...menerima sesuatu yang diluar kemampuanku, itulah sebabnya.

Tidak...daripada itu......Apa betul mereka akan menyerahkan penulisan novel itu kepadaku? Aku yang cuma seorang Jurnalis Freelancer, dan kacangan pula ini?

Tapi, ini sebuah kesempatan besar bagiku. Selama ini aku selalu berangan-angan namaku bisa tercantum di tankoubon, dan bukan cuma sekedar nama inisial di penghujung artikel saja. Mimpiku untuk menerbitkan buku, sepertinya akan jadi bukan sekedar mimpi.

Tapi....

Keesokan harinya, saat akan berangkat ke Ichigaya, adik perempuanku yang tinggal bersama menghentikanku.

“Jangan pergi kesana.” katanya tanpa basa-basi.

Aku sudah tidak memiliki orang tua, dan satu-satunya yang bisa disebut saudara olehku hanyalah adikku ini. Adikku menganggapku bukan hanya sebagai kakak, tapi juga orang tua. Wajar saja.

Walaupun begitu, sulit mengatakannya, tapi aku selalu agak menjaga jarak dengannya. Kenapa bisa begitu, aku tidak tahu.

Aku tidak menanggapinya. Padahal tidak ada salahnya berkata sedikit lembut kepadanya......

Setiap kali berhadapan denganku, adikku selalu sangat diam. Bukan salahnya....Karena setiap kali aku merasa dia ingin bicara, aku selalu tidak menunjukkan minat terhadapnya.....Aku juga tidak pernah membicarakan pekerjaanku padanya. Tentu saja pekerjaan kali ini pun tidak terkecuali.
Tapi kenapa tiba-tiba dia berkata begitu?....

“Kenapa kamu bilang begitu?” tanyaku akhirnya.

“Tidak tahu....tapi....” adikku sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Dia hanya menatapku lekat-lekat, kemudian kembali berkata lirih,

“.....Kumohon.....Jangan pergi.....”

Dia ketakutan. Itu sangat terlihat jelas.

Tapi, saat ini aku belum tahu apa yang dia takutkan.

Aku merasa agak was-was.

Pasti ada sesuatu....atau dia mendapat firasat sesuatu yang akan terjadi, makanya dia sampai ketakutan seperti ini....

Tapi aku segera membuang perasaan itu dari kepalaku.

“Kakak harus pergi. Ini kesempatan baik. Sayang kalau dilewatkan, dan itu berarti aku gagal sebagai seorang pro.” kataku.

Kata-kata itu kuucapkan lebih kepada diriku sendiri. Sekali lagi, aku kembali menjauh dari adikku....Tidak ingin bersentuhan dengan apa yang dia ketahui, ataupun dia cemaskan....

Dan, mengacuhkan kecemasan adikku, aku pun meninggalkan rumah.


***


Untuk mencapai Ichigaya, aku harus menggunakan trem, yang jalurnya termasuk jarang kugunakan.

Saat menuruni tangga stasiun, perasaan aneh muncul di dalam hatiku. Seolah-olah ada sesuatu yang ingin menahanku.

Tidak ada apa-apa. Semua baik-baik saja.

Entah darimana, tiba-tiba terdengar suara itu. Dan itu bukan suara manusia.
Perasaanku semakin tidak enak. Aku melirik sekeliling, dan tiba-tiba saja, sesosok bayangan putih melintas di hadapanku.

Aku langsung menyadarinya.

Suara yang kudengar barusan, dan juga bayangan putih itu bukanlah sesuatu yang bisa didengar maupun dilihat oleh orang biasa.

Begitu memikirkan itu, perasaan tidak enak yang kurasakan tadi semakin bertambah. Nafasku bahkan mulai sesak karenanya. Setelah membeli tiket, aku langsung beristirahat di kursi terdekat yang ada di platform.

Jantungku berdebar keras. Suasana platform di sekelilingku seolah-olah berubah menjadi sebuah gua zaman purbakala. Entah pengaruh stasiun yang jarang kudatangi atau apa, aku merasa seolah-olah terkurung di tempat ini.

Atau lebih tepatnya, tempat ini yang berusaha mengurungku.

Perasaanku benar-benar tidak nyaman.

Aku seperti ditarik ke dalam kegelapan di bawah tanah yang tak berdasar oleh kekuatan jahat yang tidak terlihat.

Aku tidak bisa disini terus......

Aku berdiri dan bersiap melarikan diri dari tempat itu saat kereta yang akan kunaiki akhirnya tiba dengan suara berderu.

Kedatangan kereta itu sepertinya menenangkanku. Aku naik, dan saat tengah mengatur kembali nafasku serta menghapus keringat yang membanjiri wajahku, seseorang memanggil namaku.

Aku menoleh, dan segera melihat Takamine Sensei, seorang pengarang novel terkenal bersama asistennya, Hirasaka Tomoe-san, duduk di bangku dekat situ. Aku langsung menundukkan kepala dalam-dalam.

Takamine Sensei, nama lengkapnya Takamine Junsei, adalah seorang pengarang novel misteri terkenal. Karya-karyanya selalu menjadi best seller.
Aku berkenalan dengan beliau sekitar satu tahun silam. Beliau mengajar di sekolah jurnalistik tempatku belajar. Sebelum itupun aku memang sangat mengaumi karya-karya beliau, sehingga aku mengambil mata kuliah yang diajarnya dengan sangat serius, dan meraih peringkat pertama di akhir tahun ajaran.

Beliau memujiku, dan setelahnya bahkan menawarkan pekerjaan padaku untuk membantunya. Takamine Sensei, selain menulis misteri juga menulis karya non-fiksi. Saat itu ia akan mengumpulkan data ke luar negeri dan membutuhkan seorang asisten.

Diminta tolong begitu oleh orang yang kukagumi, tentu saja kegembiraanku langsung meluap-luap. Tapi, aku juga khawatir. Apa keberadaan bocah berumur 20 tahun yang masih hijau ini bukannya malah jadi penghalang baginya? Aku mengutarakannya pada Takamine Sensei. Beliau kemudian berkata,

“Ikutlah. Kesempatan hanya datang sekali, dan kalau kau tidak menangkapnya, dia akan kabur. Kau punya bakat, karena itulah aku mengajakmu.”

Aku sangat terharu dengan kata-kata itu, kemudian menerima tawarannya dan membantunya mengumpulkan data ke luar negeri. Data-data itu kemudian menjadi novel berjudul ‘Benmei No Kaku’, yang menjadi best seller.

Setelah itupun, Takamine Sensei sering memberikan pekerjaan padaku lewat koneksi-koneksinya, dan aku sudah dianggapnya sebagai murid dalam dunia tulis-menulis novel. Berkat itulah aku bisa sukses sebagai seorang jurnalis, walaupun cuma freelancer seperti ini.

Ngomong-ngomong, Pak Ioka yang akan berurusan denganku sebentar lagi juga dikenalkan oleh Sensei.

“Jangan berdiri terus seperti orang bodoh. Duduklah. Bukan kursiku, sih...” Takamine Sensei menepuk-nepuk kursi di sebelahnya sambil tertawa kecil. Aku tersenyum dan menuruti ajakannya.

“Apa kabar?” tanya Hirasaka-san dari samping Sensei.

Hirasaka Tomoe adalah asisten sekaligus juga sekretaris tetap Takamine Sensei. Umurnya pertengahan 20-an, dan dia lumayan cantik. Dia sangat mengagumi Takamine Sensei, mungkin melebihiku. Begitu lulus kuliah, dia mendatangi Sensei dan setengah memaksa meminta dijadikan asisten Sensei. Begitulah yang dia ceritakan padaku....

Sedangkan menurut Takamine Sensei,

“Aku memaksanya menjadi asistenku, karena nilainya sangat baik. Padahal dia sudah dapat posisi bagus dimana-mana.”

Aku tidak tahu mana yang benar, tapi aku yakin, dari kedua versi itu pasti masing-masing ada yang mengandung kebenaran.

Hirasaka-san, tentu saja, juga mengarang novel. Namanya cukup terkenal sebagai pengarang baru berbakat yang beberapa kali memenangkan penghargaan. Aku pernah membaca karya-karyanya, dan harus kuakui, sebagai seorang wanita, dia sangat hebat.

“Kamu ada pekerjaan, ya?” pertanyaan Takamine Sensei membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru menjawabnya dan menjelaskan asal-muasal kedatanganku ke stasiun ini.

“Hebat! Kalau begitu, ini akan jadi debutmu, ya?” Hirasaka-san memujiku. Cukup keras, karena para penumpang yang lain, walau kereta ini sedikit penumpangnya, langsung menoleh ke arah kami.

novel fatal frame chapter 2

Re: [Translation]FATAL FRAME - Hinasaki Mafuyu
Aku menunduk dan menggaruk-garuk kepalaku malu-malu.

“Yah...dibilang begitu juga, konsep ceritanya kan sudah ada. Mungkin itu sebabnya mereka meminta Saya yang menulisnya....” ucapku merendah.

“Kalau berpikir begitu, seumur hidup kau tidak akan maju-maju! Membuat sesuatu yang sudah ada karya original seperti terkadang jauh lebih sulit ketimbang membuat sesuatu yang baru, kau tahu?” Takamine Sensei memotong dengan tajam.

Rasanya aku seperti kena siram air dingin.

“Maaf...” aku cuma bisa menundukkan kepala. Aku ini bikin malu saja, tidak pe de, sampai jadi dimarahi begini oleh Sensei.

Takamine Sensei menepuk bahuku dan berkata dengan ramah, “Aku mengerti perasaanmu. Kau tegang, bukan? Orang kalau tegang memang biasa berkata tanpa berpikir panjang begitu.”

Rasanya aku mau nangis.

Tapi, aku juga merasa sangat senang dan bertambah semangat karena didukung oleh orang sehebat beliau.

Tak lama kemudian, kereta berhenti di stasiun Ichigaya. Aku turun disana dan berpisah dengan Takamine Sensei dan Hirasaka-san setelah sebelumnya berjanji untuk mengontak mereka lagi.


***

Pak Ioka sudah menunggu di bawah peta jalur JR Ichigaya. Dia lebih tua kira-kira 10 tahun dariku, tapi gayanya masih seperti anak muda. Rambutnya saja dicat coklat.

Aku langsung mendekatinya dan setelah berbasa-basi sejenak, kami berjalan.
Selama berjalan, aku setengah mati mencari bahan pembicaraan. Maklumlah, kalau bukan karena dia, mana mungkin aku dapat pekerjaan ini. Basa-basi penting disini. Tapi, memang dasar aku payah, nggak jago basa-basi, pembicaraan kami terdengar kering-kering saja.

Aku memang selalu begini kalau bertemu orang yang belum akrab denganku. Gara-gara sikapku ini, pernah juga aku dipecat di hari ketiga kerja sambilanku waktu masa kuliah dulu.

“Horor katanya.” kata Pak Ioka sambil berjalan.

“Eh?” Aku tidak langsung menyambung dengan perkataannya.

“Genre game yang akan dinovelkan itu. Judulnya ‘Zero’. Katanya sih cukup seram lho.”

“Anda sudah memainkannya?”

“Belum. Rencananya nanti Saya akan pinjam versi betanya sekalian.”

“Versi...beta?..”

“Prototype. Produk yang sudah hampir sempurna dan tinggal finishing touchnya saja disebut beta atau trial version. Anda punya Playstation 2?”

“Ya. Punya adik saya tapinya.”

“Lho? Anda punya adik?”

“Bukankah Saya sudah pernah cerita sebelum ini? Saya tinggal berdua dengan adik perempuan saya.”

“Hee...Aneh, ya...Kalau tidak salah, waktu itu Anda bilang Anda tinggal sendirian....”

Aku hanya tersenyum kecil saja mendengarnya.

Aneh.

Sebelumnya, aku pernah bercerita pada Pak Ioka bahwa aku tinggal berdua dengan adik perempuanku. Aku ingat benar waktu itu, dia langsung berkata, “Wah, kalau begitu kapan-kapan kenalkan, ya.”

Orang ini memang agak aneh dan kurang bertanggung jawab, sih. Aku pernah meminjamkan video rekaman acara TV yang kebetulan juga disukainya. Tapi, setelah beberapa lama, dia tidak mengembalikannya juga sehingga aku jadi agak habis sabar juga. Tapi waktu kutanyakan pada Pak Ioka, dia malah berkata,

“Waduh, maaf! Videonya terpakai oleh putri saya waktu dia merekam anime kesukaannya, tuh.”

Dia mengatakan itu tanpa nada penyesalan sama sekali. Entah itu namanya pikun, atau tidak bertanggung jawab, deh....

Mungkin dia memang sudah lupa ya, mengenai pembicaraan bahwa aku tinggal bersama adikku.

Kantor Game Maker yang kami tuju berjarak kira-kira 5menit berjalan kaki dari stasiun. Bagunannya seperti mansion, tapi lebih megah dan kira-kira berlantai 10. Ada resepsionisnya segala.

Sementara Pak Ioka memberi tahu siapa kami dan apa tujuan kami datang kesini, aku berdiri dengan gelisah, seolah-olah berada di tempat yang salah.
Penyakit gugup di hadapan orang yang baru kutemui memang kumat, tapi yang paling membuatku tidak tenang adalah masalah penulisan novel ini. Apa benar mereka akan menyerahkannya padaku?

Aku sama sekali tidak punya contoh karya yang layak di pamerkan. Artikel atau yang sejenisnya memang mudah. Aku tinggal meng-copynya saja. Tapi novel?

Aku sempat berpikir untuk membawa novel yang kutulis saat masih sekolah. Tapi setelah kubaca-baca lagi, kelihatan sekali novel itu ditulis oleh orang yang sangat amatir. Kalau aku nekat membawanya juga, bisa-bisa malah jadi dianggap tidak kompeten.

Beberapa menit kemudian, seorang wanita muda turun ke lobby menemui kami. Pak Ioka, yang sebelumnya sudah bertemu dengannya mengenalkan kami.
Namanya Tsukihara. Dia kelihatan sangat cantik dalam setelan yang dikenakannya. Dari tubuhnya tercium bau harum parfum yang tidak kukenal. Dia tersenyum ramah saat Pak Ioka mengenalkanku.

Aku masih terbengong-bengong selama beberapa saat, kemudian buru-buru mengeluarkan kartu namaku dari saku dan memberikannya pada Tsukihara-san.
Kami bertukar kartu nama. Begitu melihat kartu namaku, Tsukihara-san kelihatan kaget. Dia menatap wajahku lekat-lekat.

“Kenapa? Jangan-jangan, dia ini tipe kesukaannya Tsukihara-san, ya?” Pak Ioka menyeletuk dengan nada bercanda khasnya.

Tsukihara-san tersentak mendengarnya.

“Eh? Oh, maaf...” Tsukihara-san kembali tersenyum. “Mari, ikuti Saya.” katanya.

Saat berada dalam lift, aku agak kepikiran mengenai sikap aneh Tsukihara-san saat berhadapan denganku tadi.

Jangan-jangan aku sudah memberi kesan buruk tanpa kusadari di awal pertemuan? Aduuh, aku ini benar-benar payah deh kalau sudah tegang!

Tsukihara-san mengajak kami ke semacam ruang rapat yang kosong. Aku dan Pak Ioka duduk berdampingan. Tidak lama kemudian, dua orang pria masuk ke dalam ruangan.

Pak Ioka sepertinya juga baru kali ini bertemu mereka. Kami berdua sama-sama bangun dan memberikan kartu nama masing-masing.

Mereka adalah Pak Kitaike sang Game Producer, dan Pak Shibaguchi, yang menangani skenario. Keduanya berusia sekitar 30 tahunan.

Pak Kitaike bertubuh ramping, dan kelihatan sangat kalem. Cocok dengan gambaran seorang pengusaha muda. Mungkin pengaruh dari setelan jas yang dipakainya juga.

Sedangkan Pak Shibaguchi justru sebaliknya. Dia pendek, gemuk, berpakaian seadanya. Matanya tak henti-hentinya melirik kami dari balik kacamata tebal yang dipakainya.

Saat mereka melihat kartu namaku, keduanya sama-sama terkejut. Pak Shibaguchi menatapku seolah tidak mempercayai matanya sendiri. Tapi Pak Kitaike tidak demikian. DIa melihat Pak Shibaguchi yang kelihatan tidak percaya itu, dan entah kenapa, aku merasa melihatnya tersenyum.

“Kaget, kan?” kata Tsukihara-san.

“Anu...Maaf, tapi, apa ini nama asli Anda? Atau nama pena?” tanya si penanggung jawab skenario itu.

“Nama asli...”

“Bagaimana cara bacanya?”

“Hinasaki Mafuyu” aku menyebutkan nama lengkapku.

Aku sudah terbiasa ditanyai begitu. Apa boleh buat. Namaku memang agak aneh dan sulit dibaca dengan benar tanpa bantuan furigana.

“Ini...Apa-apaan...” Pak Shibaguchi menatap Pak Kitaike dengan pandangan bertanya-tanya.

“Yah, kebetulan memang hebat.” jawab Pak Kitaike tenang.

“Kebetulan....Bagaimana bisa...” Pak Shibaguchi kembali menatap kartu namaku dengan bingung.

“Kenapa? Apa ada yang aneh dengan wajah Hinasaki-san?” Pak Ioka, yang sepertinya mulai menyadari ada yang aneh bertanya.

“Maaf....Tapi, hal macam ini....” Pak Shibaguchi kelihatan masih bingung. Tsukihara-san kemudian bertanya pada Pak Ioka,

“Anda belum mendapatkan bahan-bahan yang berhubungan dengan game ini sama sekali, ya?”

“Ya. Saya hanya diberitahu ini game horor bernuansa klasik, judulnya ‘Zero’....”

“Kalau begitu, bacalah ini. Anda akan mengerti kenapa kami terkejut.” Tsukihara-san menyodorkan setumpuk dokumen.

Aku dan Pak Ioka kembali duduk dan mulai menekuni dokumen itu.

Itu adalah keseluruhan konsep game Zero.

Pertama-tama aku membuka halaman penjelasan karakter. Mataku langsung tertumbuk pada tokoh utama game itu.

Seorang gadis berusia 17 tahun, pada kolom namanya tertulis ‘Hinasaki Miku’. Tidak salah lagi. Di atas kanji nama itu tertulis furigananya.

Nama adikku!

Yang mengejutkan bukan hanya itu saja. Disana dicantumkan kalau Miku memiliki seorang kakak laki-laki bernama ‘Hinasaki Mafuyu’.

Namaku sendiri.

“Ini sungguhan?” tanya Pak Ioka.

“Silakan lihat halaman selanjutnya. Ada foto para karakter di sana.” kata Tsukihara-san. Kami membalik halaman sesuai sarannya.

“Polygon, ya.....Lho?! Kok wajah kakak tokoh utamanya persis Hinasaki-san begini?!” Pak Ioka langsung membandingkan foto itu dengan wajahku.

Karena gambar itu polygon, terasa agak aneh. Tapi wajah di foto itu memang persis wajahku. Seolah-olah aku-lah yang menjadi model 3Dnya. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, wajah gadis karakter utama yang bernama Hinasaki Miku itu.

Persis sekali dengan Miku, adikku.

“Sekarang Anda mengerti, bukan, kenapa kami semua begitu terkejut?” kata Tsukihara-san.

“Oh, saya tahu! Kalian pasti sudah sekutu, ya?” Pak Ioka tertawa terbahak-bahak sambil menatapku dan ketiga orang itu bergantian.

“Mana mungkin kami melakukan itu? Bukankah yang mengusulkan Hinasaki-san sebagai novelis adalah Anda?” balas Tsukihara-san.

“Iya, ya.....Kalau begitu, kalian kebetulan pernah melihat dan mendengar tentang Hinasaki-san, kemudian menjadikannya model karakter game ini?”

“Tidak. Kalau memang begitu, pasti kami akan minta izin dahulu sebelumnya. Iya kan, Pak Kitaike?” Pak Shibaguchi angkat bicara. Pak Kitaike mengangguk yakin.

“Tentu saja!” katanya.

“Lho? Kalau begitu?....Ngg.....” Pak Ioka menggaruk-garuk kepalanya. Dia kelihatan seperti orang yang sedang menghadapi tipuan rubah. Sementara dia memandangi tumpukan dokumen di hadapannya dengan bingung, aku mulai membaca profil karakter.

Street Light Interference Phenomena.x

Suatu malam, kalian sedang berjalan di pinggir sebuah jalan yang sepi. Ketika kalian melewati sebuah lampu jalan yang sedang menyala, tiba-tiba lampu itu padam, seakan-akan menolak kehadiran kalian di dekatnya. Ketika kalian berjalan menjauh, lampu itu kembali menyala. Dan kalian pun segera menyadari keanehan peristiwa yang baru saja terjadi.

Fenomena tersebut ternyata juga dialami oleh banyak orang dari seluruh dunia. Bahkan fenomena ini sudah diberi nama dan memiliki halaman wikipedianya sendiri. Nama fenomena ini adalah Street Light Interference alias SLI.

Street Light Interference

"Malam itu, kami sedang keluar untuk berjalan-jalan. Lalu, saya mengalami tiga atau empat kali lampu padam. Salah satu lampu jalan yang saya dekati padam begitu saja. Ketika saya berjalan menjauh, lampu itu kembali menyala. Lalu, saya kembali mendekatinya dan lampu itu kembali padam. Saya mengulangi proses itu dan hal yang sama kembali terjadi. Pertama, saya mengira ada kerusakan pada sirkuit lampu. Namun saya melihat ke arah lampu itu dari jarak yang cukup jauh selama 10 menit, dan lampu itu tetap menyala"

Kesaksian di atas adalah salah satu dari 77 kesaksian yang dikumpulkan oleh Hillary Evans dari The Association for the Scientific Study of Anomalous Phenomena (ASSAP). Mr. Evans menuangkan penelitiannya mengenai fenomena ini dalam bukunya yang terbit tahun 1993 berjudul: SLIders: The Enigma of Streetlight Interference.

Mr. Evans juga adalah orang yang pertama kali menamakan fenomena ini dengan sebutan Street Light Interference (SLI) dan ia menyebut mereka yang mengalami fenomena ini dengan sebutan SLIders.

Walaupun banyak kasus yang dilaporkan mengenai SLI, kondisi masing-masing peristiwa bisa bervariasi. Ada SLIder yang hanya mampu mempengaruhi satu lampu jalan. Ada SLIder lain yang mampu mempengaruhi satu deret lampu jalan. Ada yang memadamkan lampu ketika berada tepat di bawah lampu tersebut, namun ada juga yang bisa memadamkan lampu tersebut hanya dengan berdiri beberapa meter darinya.

Variasi-variasi seperti ini membuat SLI menjadi semakin susah diteliti karena tidak memiliki pola yang teratur.

Umumnya para SLIders adalah orang-orang yang tidak memiliki ketertarikan dengan fenomena paranormal. Mereka juga seringkali menolak menceritakan pengalamannya karena kuatir dianggap gila oleh orang-orang yang mendengarnya.

Dalam sebagian kasus, para SLIders tidak hanya memadamkan lampu jalan. Ada laporan-laporan yang menyebutkan kalau tubuh mereka juga mempengaruhi peralatan elektronik lain seperti Televisi, Radio, Jam Digital dan CD Player. Kita sudah sering mendengar mengenai tubuh manusia yang mengandung magnet atau listrik yang kuat sehingga mampu mempengaruhi barang elektronik. Karena itu SLIders jenis ini tidak lagi terdengar aneh di telinga kita.

Namun, jika seseorang hanya mampu mempengaruhi lampu jalan, maka ini adalah sebuah teka-teki yang cukup membingungkan.

Apa yang menyebabkannya?

Gelombang listrik otak
Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam penelitian mengenai fenomena "paranormal" adalah sulitnya mereproduksi ulang fenomena ini di dalam laboratorium, termasuk fenomena SLI. Para SLIders umumnya melaporkan kalau fenomena ini terjadi begitu saja tanpa disengaja. Karena itu, sebagian peneliti berpendapat kalau fenomena ini mungkin berkaitan dengan gelombang listrik di dalam otak yang tanpa disadari telah memicu SLI. Mungkinkah?

Setiap gerakan dan pikiran manusia sesungguhnya dihasilkan oleh gelombang listrik di dalam otak. Sepanjang pengetahuan sains, gelombang ini hanya memiliki pengaruh terhadap tubuh manusia itu sendiri. Namun, sebagian orang sejak lama percaya kalau gelombang ini juga bisa mempengaruhi benda-benda di luar tubuh. Inilah yang kita kenal dengan sebutan Mind Over Matter, yaitu pikiran yang mampu mempengaruhi benda-benda fisik. Contohnya adalah kemampuan telekinesis.

Beberapa SLIders melaporkan kalau fenomena ini terjadi ketika mereka sedang mengalami perasaan emosional yang ekstrem. Emosi yang berlebihan ini dipercaya telah menyebabkan gelombang otak yang dihasilkan mampu mematikan lampu jalan yang dilewatinya.

Salah seorang SLIder ternama dari Inggris bernama Debbie Wolf menceritakan kepada CNN:

"Ketika itu terjadi, biasanya saya sedang tertekan karena suatu hal. Tidak berarti stress berat, namun ketika saya benar-benar memikirkan sesuatu dengan keras di dalam kepala saya, maka hal itu terjadi."


Debbie adalah SLIder yang juga mampu mempengaruhi peralatan-peralatan elektrik lain.

Menariknya, Debbie menceritakan kalau ia pernah mematikan satu deret lampu jalan ketika ia melewatinya dengan sepeda motor.

Untuk kasus Debbie, mungkin kita bisa berasumsi kalau tubuhnya mengandung listrik yang cukup kuat sehingga bisa mempengaruhi lampu jalan dan juga peralatan elektrik lainnya.

Namun, untuk SLIder lainnya, mengapa gelombang otak mereka hanya bisa mempengaruhi lampu jalan? Kedengarannya sangat tidak masuk akal.

Apakah ada penjelasan lain yang lebih memadai?

Confirmation Bias
Bagi sebagian peneliti lainnya, Mind Over Matter mungkin berlebihan. David Barlow, seorang ahli astrofisika, berpendapat kalau fenomena SLI sesungguhnya tidak pernah ada. Yang terjadi hanyalah persepsi sang pejalan kaki.

Penjelasannya seperti ini:

Jika kita berjalan kaki di malam hari, umumnya, ketika lampu jalan menyala terus menerus, kita tidak akan menaruh perhatian padanya. Namun ketika lampu jalan itu padam saat kita berada di bawahnya, maka kita akan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak biasa. Jika lampu jalan itu kembali menyala setelah kita menjauhinya, maka persepsi akan menciptakan kepercayaan di dalam diri kita kalau sebuah fenomena aneh sedang berlangsung.

Proses penciptaan persepsi ini disebut dengan Confirmation Bias, yang secara sederhana dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk lebih menerima informasi yang mendukung teori mereka tanpa mempedulikan apakah informasi tersebut benar atau salah.

Ketika dikombinasikan dengan lampu jalan yang bermasalah, terciptalah SLI.

Lampu jalan di Amerika umumnya menggunakan lampu sodium. Menurut salah seorang insinyur dari General Electric, Lampu ini memiliki sistem keamanan yang mengatur suhu maksimal yang dapat diterima oleh lampu tersebut. Ketika umur lampu sudah cukup tua, sodium di dalamnya akan berkurang karena proses-proses kimiawi. Ini menyebabkan voltase akan menaikkan suhu lampu tanpa hambatan.

Jika suhu melebihi kapasitas normal, maka lampu akan mati. Ketika ini terjadi, ia akan mendingin dan suhunya akan kembali mencapai batas normal. Setelah itu, lampu akan kembali menyala. Proses ini bisa terjadi hanya dalam beberapa menit.

Jika kita kebetulan lewat di bawah lampu yang sudah usang ini, sebuah persepsi bisa tercipta di dalam pikiran kita kalau kitalah yang telah mempengaruhi lampu tersebut.

Karena itu, insinyur General Electric tersebut mengatakan kalau SLI sesungguhnya hanyalah sebuah "Kombinasi dari kebetulan dan pikiran yang mengada-ngada".

Walaupun jawaban ini cukup masuk akal, namun masih belum bisa menjelaskan beberapa hal.

Misalnya, dalam banyak kasus, lampu yang dipengaruhi oleh para SLIders ternyata bukan hanya lampu sodium. Lalu, ada juga saksi yang melaporkan kalau ia mampu mempengaruhi satu deret lampu jalan (seperti Debbie) yang membuat penjelasan ini menjadi tidak mengena. Soalnya, hampir tidak mungkin kalau satu deret lampu jalan sama-sama usang dalam waktu yang bersamaan kemudian menyala dan padam pada waktu yang tepat.

Jadi, ini adalah satu lagi fenomena paranormal yang tidak bisa dijelaskan secara memuaskan oleh sains, dan mungkin akan tetap tidak terjelaskan karena dunia sains sepertinya tidak terlalu tertarik untuk mengeksplorasinya lebih dalam, berbeda dengan fenomena paranormal lain seperti telepati atau telekinesis.

Namun, sehebat apapun fenomena ini, Mr.Evans mengakui kalau fenomena ini sepertinya tidak memiliki arti apapun.

"Efek yang terjadi biasanya spontan dan sepertinya tidak memiliki arti. Ia tidak memiliki manfaat praktis atau memberikan kepuasan kepada individu atau dalam suatu cara menyediakan tujuan psikologis"

Jika saya adalah seorang SLIder, tentu saja, saya pun akan kebingungan dengan manfaat kemampuan yang satu ini.

Iseng! (no offense gan) , Kesalahan Keji Google Translate

Wahahaha
cuma share doang
berbagi tawa dgn member

langsung aja
1. Go to google translate

2. Set terjemahan dr english ke vietnamese

3. Ketik "Will justin bieber ever hit puberty"

4. Klik translate

5. Copy hasil terjemahan lalu paste ke kotak translate, tp kali ini dr vietnamese ke english

6. Lihat hasilnya and let's laugh together

wkwkwkwkwk
keji bukan?
Kita bertanya, google translate yg jwb

ok
selamat malam ^^
FROM ~CLAN IBLIS~