Blogger Templates

novel fatal frame chapter 2

Re: [Translation]FATAL FRAME - Hinasaki Mafuyu
Aku menunduk dan menggaruk-garuk kepalaku malu-malu.

“Yah...dibilang begitu juga, konsep ceritanya kan sudah ada. Mungkin itu sebabnya mereka meminta Saya yang menulisnya....” ucapku merendah.

“Kalau berpikir begitu, seumur hidup kau tidak akan maju-maju! Membuat sesuatu yang sudah ada karya original seperti terkadang jauh lebih sulit ketimbang membuat sesuatu yang baru, kau tahu?” Takamine Sensei memotong dengan tajam.

Rasanya aku seperti kena siram air dingin.

“Maaf...” aku cuma bisa menundukkan kepala. Aku ini bikin malu saja, tidak pe de, sampai jadi dimarahi begini oleh Sensei.

Takamine Sensei menepuk bahuku dan berkata dengan ramah, “Aku mengerti perasaanmu. Kau tegang, bukan? Orang kalau tegang memang biasa berkata tanpa berpikir panjang begitu.”

Rasanya aku mau nangis.

Tapi, aku juga merasa sangat senang dan bertambah semangat karena didukung oleh orang sehebat beliau.

Tak lama kemudian, kereta berhenti di stasiun Ichigaya. Aku turun disana dan berpisah dengan Takamine Sensei dan Hirasaka-san setelah sebelumnya berjanji untuk mengontak mereka lagi.


***

Pak Ioka sudah menunggu di bawah peta jalur JR Ichigaya. Dia lebih tua kira-kira 10 tahun dariku, tapi gayanya masih seperti anak muda. Rambutnya saja dicat coklat.

Aku langsung mendekatinya dan setelah berbasa-basi sejenak, kami berjalan.
Selama berjalan, aku setengah mati mencari bahan pembicaraan. Maklumlah, kalau bukan karena dia, mana mungkin aku dapat pekerjaan ini. Basa-basi penting disini. Tapi, memang dasar aku payah, nggak jago basa-basi, pembicaraan kami terdengar kering-kering saja.

Aku memang selalu begini kalau bertemu orang yang belum akrab denganku. Gara-gara sikapku ini, pernah juga aku dipecat di hari ketiga kerja sambilanku waktu masa kuliah dulu.

“Horor katanya.” kata Pak Ioka sambil berjalan.

“Eh?” Aku tidak langsung menyambung dengan perkataannya.

“Genre game yang akan dinovelkan itu. Judulnya ‘Zero’. Katanya sih cukup seram lho.”

“Anda sudah memainkannya?”

“Belum. Rencananya nanti Saya akan pinjam versi betanya sekalian.”

“Versi...beta?..”

“Prototype. Produk yang sudah hampir sempurna dan tinggal finishing touchnya saja disebut beta atau trial version. Anda punya Playstation 2?”

“Ya. Punya adik saya tapinya.”

“Lho? Anda punya adik?”

“Bukankah Saya sudah pernah cerita sebelum ini? Saya tinggal berdua dengan adik perempuan saya.”

“Hee...Aneh, ya...Kalau tidak salah, waktu itu Anda bilang Anda tinggal sendirian....”

Aku hanya tersenyum kecil saja mendengarnya.

Aneh.

Sebelumnya, aku pernah bercerita pada Pak Ioka bahwa aku tinggal berdua dengan adik perempuanku. Aku ingat benar waktu itu, dia langsung berkata, “Wah, kalau begitu kapan-kapan kenalkan, ya.”

Orang ini memang agak aneh dan kurang bertanggung jawab, sih. Aku pernah meminjamkan video rekaman acara TV yang kebetulan juga disukainya. Tapi, setelah beberapa lama, dia tidak mengembalikannya juga sehingga aku jadi agak habis sabar juga. Tapi waktu kutanyakan pada Pak Ioka, dia malah berkata,

“Waduh, maaf! Videonya terpakai oleh putri saya waktu dia merekam anime kesukaannya, tuh.”

Dia mengatakan itu tanpa nada penyesalan sama sekali. Entah itu namanya pikun, atau tidak bertanggung jawab, deh....

Mungkin dia memang sudah lupa ya, mengenai pembicaraan bahwa aku tinggal bersama adikku.

Kantor Game Maker yang kami tuju berjarak kira-kira 5menit berjalan kaki dari stasiun. Bagunannya seperti mansion, tapi lebih megah dan kira-kira berlantai 10. Ada resepsionisnya segala.

Sementara Pak Ioka memberi tahu siapa kami dan apa tujuan kami datang kesini, aku berdiri dengan gelisah, seolah-olah berada di tempat yang salah.
Penyakit gugup di hadapan orang yang baru kutemui memang kumat, tapi yang paling membuatku tidak tenang adalah masalah penulisan novel ini. Apa benar mereka akan menyerahkannya padaku?

Aku sama sekali tidak punya contoh karya yang layak di pamerkan. Artikel atau yang sejenisnya memang mudah. Aku tinggal meng-copynya saja. Tapi novel?

Aku sempat berpikir untuk membawa novel yang kutulis saat masih sekolah. Tapi setelah kubaca-baca lagi, kelihatan sekali novel itu ditulis oleh orang yang sangat amatir. Kalau aku nekat membawanya juga, bisa-bisa malah jadi dianggap tidak kompeten.

Beberapa menit kemudian, seorang wanita muda turun ke lobby menemui kami. Pak Ioka, yang sebelumnya sudah bertemu dengannya mengenalkan kami.
Namanya Tsukihara. Dia kelihatan sangat cantik dalam setelan yang dikenakannya. Dari tubuhnya tercium bau harum parfum yang tidak kukenal. Dia tersenyum ramah saat Pak Ioka mengenalkanku.

Aku masih terbengong-bengong selama beberapa saat, kemudian buru-buru mengeluarkan kartu namaku dari saku dan memberikannya pada Tsukihara-san.
Kami bertukar kartu nama. Begitu melihat kartu namaku, Tsukihara-san kelihatan kaget. Dia menatap wajahku lekat-lekat.

“Kenapa? Jangan-jangan, dia ini tipe kesukaannya Tsukihara-san, ya?” Pak Ioka menyeletuk dengan nada bercanda khasnya.

Tsukihara-san tersentak mendengarnya.

“Eh? Oh, maaf...” Tsukihara-san kembali tersenyum. “Mari, ikuti Saya.” katanya.

Saat berada dalam lift, aku agak kepikiran mengenai sikap aneh Tsukihara-san saat berhadapan denganku tadi.

Jangan-jangan aku sudah memberi kesan buruk tanpa kusadari di awal pertemuan? Aduuh, aku ini benar-benar payah deh kalau sudah tegang!

Tsukihara-san mengajak kami ke semacam ruang rapat yang kosong. Aku dan Pak Ioka duduk berdampingan. Tidak lama kemudian, dua orang pria masuk ke dalam ruangan.

Pak Ioka sepertinya juga baru kali ini bertemu mereka. Kami berdua sama-sama bangun dan memberikan kartu nama masing-masing.

Mereka adalah Pak Kitaike sang Game Producer, dan Pak Shibaguchi, yang menangani skenario. Keduanya berusia sekitar 30 tahunan.

Pak Kitaike bertubuh ramping, dan kelihatan sangat kalem. Cocok dengan gambaran seorang pengusaha muda. Mungkin pengaruh dari setelan jas yang dipakainya juga.

Sedangkan Pak Shibaguchi justru sebaliknya. Dia pendek, gemuk, berpakaian seadanya. Matanya tak henti-hentinya melirik kami dari balik kacamata tebal yang dipakainya.

Saat mereka melihat kartu namaku, keduanya sama-sama terkejut. Pak Shibaguchi menatapku seolah tidak mempercayai matanya sendiri. Tapi Pak Kitaike tidak demikian. DIa melihat Pak Shibaguchi yang kelihatan tidak percaya itu, dan entah kenapa, aku merasa melihatnya tersenyum.

“Kaget, kan?” kata Tsukihara-san.

“Anu...Maaf, tapi, apa ini nama asli Anda? Atau nama pena?” tanya si penanggung jawab skenario itu.

“Nama asli...”

“Bagaimana cara bacanya?”

“Hinasaki Mafuyu” aku menyebutkan nama lengkapku.

Aku sudah terbiasa ditanyai begitu. Apa boleh buat. Namaku memang agak aneh dan sulit dibaca dengan benar tanpa bantuan furigana.

“Ini...Apa-apaan...” Pak Shibaguchi menatap Pak Kitaike dengan pandangan bertanya-tanya.

“Yah, kebetulan memang hebat.” jawab Pak Kitaike tenang.

“Kebetulan....Bagaimana bisa...” Pak Shibaguchi kembali menatap kartu namaku dengan bingung.

“Kenapa? Apa ada yang aneh dengan wajah Hinasaki-san?” Pak Ioka, yang sepertinya mulai menyadari ada yang aneh bertanya.

“Maaf....Tapi, hal macam ini....” Pak Shibaguchi kelihatan masih bingung. Tsukihara-san kemudian bertanya pada Pak Ioka,

“Anda belum mendapatkan bahan-bahan yang berhubungan dengan game ini sama sekali, ya?”

“Ya. Saya hanya diberitahu ini game horor bernuansa klasik, judulnya ‘Zero’....”

“Kalau begitu, bacalah ini. Anda akan mengerti kenapa kami terkejut.” Tsukihara-san menyodorkan setumpuk dokumen.

Aku dan Pak Ioka kembali duduk dan mulai menekuni dokumen itu.

Itu adalah keseluruhan konsep game Zero.

Pertama-tama aku membuka halaman penjelasan karakter. Mataku langsung tertumbuk pada tokoh utama game itu.

Seorang gadis berusia 17 tahun, pada kolom namanya tertulis ‘Hinasaki Miku’. Tidak salah lagi. Di atas kanji nama itu tertulis furigananya.

Nama adikku!

Yang mengejutkan bukan hanya itu saja. Disana dicantumkan kalau Miku memiliki seorang kakak laki-laki bernama ‘Hinasaki Mafuyu’.

Namaku sendiri.

“Ini sungguhan?” tanya Pak Ioka.

“Silakan lihat halaman selanjutnya. Ada foto para karakter di sana.” kata Tsukihara-san. Kami membalik halaman sesuai sarannya.

“Polygon, ya.....Lho?! Kok wajah kakak tokoh utamanya persis Hinasaki-san begini?!” Pak Ioka langsung membandingkan foto itu dengan wajahku.

Karena gambar itu polygon, terasa agak aneh. Tapi wajah di foto itu memang persis wajahku. Seolah-olah aku-lah yang menjadi model 3Dnya. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, wajah gadis karakter utama yang bernama Hinasaki Miku itu.

Persis sekali dengan Miku, adikku.

“Sekarang Anda mengerti, bukan, kenapa kami semua begitu terkejut?” kata Tsukihara-san.

“Oh, saya tahu! Kalian pasti sudah sekutu, ya?” Pak Ioka tertawa terbahak-bahak sambil menatapku dan ketiga orang itu bergantian.

“Mana mungkin kami melakukan itu? Bukankah yang mengusulkan Hinasaki-san sebagai novelis adalah Anda?” balas Tsukihara-san.

“Iya, ya.....Kalau begitu, kalian kebetulan pernah melihat dan mendengar tentang Hinasaki-san, kemudian menjadikannya model karakter game ini?”

“Tidak. Kalau memang begitu, pasti kami akan minta izin dahulu sebelumnya. Iya kan, Pak Kitaike?” Pak Shibaguchi angkat bicara. Pak Kitaike mengangguk yakin.

“Tentu saja!” katanya.

“Lho? Kalau begitu?....Ngg.....” Pak Ioka menggaruk-garuk kepalanya. Dia kelihatan seperti orang yang sedang menghadapi tipuan rubah. Sementara dia memandangi tumpukan dokumen di hadapannya dengan bingung, aku mulai membaca profil karakter.

2 komentar:

Aka Kuuma mengatakan...

kerend re..ditunggu yg ke tiga yaaa~

>w<bb

Anonim mengatakan...

yg ketiganya ada gak ya?
di indo belum di ada yg ntranslate ya?

Posting Komentar