Blogger Templates

novel fatal frame chapter 5

Re: [Translation]FATAL FRAME - Hinasaki Mafuyu

Aku pulang dengan jantung berdetak tak karuan.

Begitu tiba di depan rumah, aku menarik nafas panjang.

Tapi disana, aku langsung menyadari adanya keanehan.

Di depan pintu seharusnya tergantung papan nama keluarga yang ditulis Miku dengan pena, bertuliskan nama kami berdua, ‘Hinasaki Mafuyu-Miku’

Tapi, yang kuhadapi adalah papan nama dengan tulisan tanganku, bertuliskan ‘Hinasaki’ saja.

Dadaku terasa sesak. Aku rasanya mau pingsan. Dengan langkah sempoyongan aku memasuki kamar apartemenku.

Kamar yang biasanya bersih dan senantiasa dirapikan oleh Miku, sekarang penuh sampah dan sisa-sisa makanan. Khas kamar yang ditinggali seorang bujangan.

Tidak ada tanda-tanda Miku pernah tinggal disini.

Mug cup kesayangan Miku, sikat gigi, pakaian, meja belajar...Semuanya menghilang.
Tidak...lebih tepat dikatakan, seolah-olah sejak awal memang tidak ada. Hanya barang-barangku yang ada di kamar ini.

Aku harus membicarakan ini pada seseorang.

Tapi aku langsung menyadari itu percuma, karena aku tidak punya orang yang bisa diajak bicara dengan tenang. Apalagi untuk urusan seperti ini.
Kami bersaudara selalu berusaha menjaga jarak dengan orang lain. Sifat kami yang agak tertutup itu memang sama, tapi ada hal lain yang menyebabkan kami bersikap begitu.

Kekuatan kami.

Kami tidak ingin kekuatan spiritual kami menimbulkan salah paham dan masalah.

Aku memang memilikinya, tapi Miku sepertinya mewarisi kekuatan itu lebih banyak dan lebih kuat daripada diriku.

Kekuatan ini adalah ‘warisan’ dari ibu kami yang telah meninggal dunia.

Meninggal dunia.....

Tidak.....

Dia bunuh diri.....

Ibu lelah dengan kekuatan yang dimilikinya. Penderitaannya bertambah setelah mengetahui aku dan Miku juga mewarisi kekuatan itu. Dia memilih menghabisi dirinya sendiri dalam keadaan agak kurang waras.

Aku tidak pernah membencinya karena telah meninggalkan kami begitu saja.

Aku merasa, apa boleh buat. Mungkin ini yang terbaik baginya. Bahwa Ibu bisa bertahan sampai sebegitu lamanya saja sudah merupakan keajaiban tersendiri.

Aku tidak pernah memastikannya, tapi kurasa Miku pun berpikir demikian.

Apalagi kami sadar betul, alasan terbesar Ibu bunuh diri adalah keberadaan kami berdua.

Tentu saja kami tidak pernah membicarakannya pada orang lain.

Bagi anak-anak seumuran Miku, memiliki kekuatan spiritual yang tinggi mungkin bisa dibilang merupakan suatu impian. Tapi itu karena mereka tidak tahu beban yang harus ditanggung karena memiliki kekuatan semacam itu.

Mereka tidak tahu bagaimana menakutkan dan menyesakkannya melihat atau merasakan sesuatu yang sama sekali tidak bisa dilihat oleh orang biasa.

Yang lebih menyakitkan, tidak ada yang mampu memahami atau bahkan membayangkan bagaimana perasaan orang yang memiliki kekuatan seperti itu.

Padangan sinis orang-orang, tatapan yang seolah mengatakan kami bukanlah manusia, lalu akhirnya tidak sudi lagi melihat kami......seperti itulah dunia yang harus kami hadapi.

Untungnya, aku dan Miku tidak sampai ke tahap separah itu.

Aku mengetahui ini semua dari Ibu, yang tak pernah berhenti menceritakan hal-hal semacam itu.

Ya....

Semua yang dialaminya semasa muda......

Hingga saat ini, aku masih bisa mengingat dengan jelas wajah Miku, yang berurai air mata setiap kali mendengar cerita Ibu.

Mungkin karena itulah, pada waktu Ibu meninggal dunia, kami berdua merasa lega dibalik kesedihan kami.

Karena dengan begini, Ibu akhirnya bisa beristirahat dalam kedamaian....

Itu jugalah latar belakang kebiasaan kami berdua yang senantiasa menjaga jarak dengan orang lain.
Dan juga alasan Miku mempercayaiku lebih dari siapapun....

Tapi apa yang kulakukan?

Aku malah menghindarinya.

Aku takut.

Miku merana karena kekuatannya. Sedangkan aku....aku merana karena tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuknya.....
Dia membutuhkanku, tapi aku tidak mampu membantunya, dan akhirnya malah menjaga jarak dengannya....Padahal.....dia pasti juga menderita dan kesepian seperti diriku....

Mendadak kejadian tadi siang terlintas di benakku.

Miku melarangku pergi ke tempat pertemuan.

Dia pasti telah merasakan bahwa akan terjadi persitiwa seperti ini.

Kalau saja waktu itu aku menuruti kata-katanya.......hal ini tidak perlu terjadi....

Tapi aku langsung menepis pikiran itu.

Walaupun aku tidak pergi, entah kenapa, aku merasa, suatu saat pasti akan ada kejadian macam ini.

Karena walaupun aku tidak pergi, game berjudul ‘Zero’ dimana ada tokoh yang persis sama dengan aku dan Miku tetap ada. Dan tetap akan diluncurkan ke publik tanpa sepengetahuan kami.

Dan cepat atau lambat, berita itu pasti akan sampai ke telinga kami, membuat kami terlibat di dalamnya. Itu pasti.

Apalagi, yang muncul di game itu bukan cuma kami berdua. Ada juga Takamine Sensei dan Hirasaka-san.

Takamine Sensei?

Begitu teringat nama beliau, aku langsung memeriksa rak bukuku. Aku yakin betul disana ada beberapa buah buku karangan beliau.
Tapi, saat aku melihatnya, di tempat yang harusnya ada buku-buku itu, ada buku karangan pengarang lain. Tentu saja, buku-buku itu memang milikku juga, tapi letak mereka berbeda dengan yang selama ini kutahu.

Walaupun tahu sia-sia saja, aku membongkar rak buku itu dan mencari-cari novel karangan Takamine Sensei.

Ini semua tidak masuk akal.

Maksudku, apa mungkin seorang pengarang novel best seller menghilang begitu saja tanpa jejak sama sekali?
Tapi, pikiran itu tidak bertahan lama.

Kekuatan spiritualku yang bereaksi ini adalah buktinya. Aku tertawa pahit dan mulai mengembalikan buku-buku yang kuacak-acak ke tempatnya semula. Saat akan memasukkan buku terakhir, aku menyadari buku itu adalah daftar nama dan alamat para pengarang terkenal yang diterbitkan oleh asosiasi pengarang.

Orang awam sepertiku sebenarnya tidak boleh memiliki ini sembarangan, tetapi berkat Takamine Sensei, yang meminta secara diam-diam pada orang asosiasi, aku memperolehnya pada salah satu pesta yang diadakan beliau.

Aku membolak-balik buku itu, dan dengan kecewa menyadari bahwa nama Takamine Junsei, yang seharusnya tertera disana sebagai salah satu novelis terkenal, hilang begitu saja. Sama seperti yang terjadi di buku alamatku. Hilang, seolah-olah tidak pernah tercantum disana.

Aku terduduk dengan lemas.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Kehilangan semua harapan, aku mulai diserang perasaan kesepian yang amat sangat.

Hingga saat ini, aku memiliki Miku di sisiku.

Aku tahu dia kesepian, tapi, bukannya menemani dan menyembuhkan kesedihannya, aku malah menganggap dirinya sebagai tempat pelarian, dengan berpikir, ‘Untunglah aku tidak seperti dia.’

Air mataku mulai menetes memikirkan hal itu.

Untuk pertama kalinya, aku mulai bisa merasakan kesepian yang selama ini dialami Miku.

Dia menderita akibat kekuatan itu. Satu-satunya orang yang mengerti itu hanya aku, tapi aku malah menghindarinya.

Betapa kesepiannya dia selama ini....

Betapa merananya dia seorang diri menahan segala penderitaannya...

Dadaku sesak memikirkan bagaimana perasaan Miku selama ini.

Untuk pertama kalinya aku mengerti apa yang dia rasakan....pada saat dia menghilang dari hadapanku.....

“Tidak! Miku tidak mungkin hilang begitu saja!” teriakku tiba-tiba.

Miku tidak menghilang! Aku pasti akan menemukannya dan membawanya kembali.

Kalau aku terus-terusan begini, membiarkan Miku begitu saja dan tidak melakukan apa-apa sama sekali, aku pasti akan menyesal seumur hidup.
Aku pasti akan menyelamatkannya!
Hanya aku, Kakaknya-lah yang bisa melakukan itu.

Aku menggeretakkan gigiku dan mulai berpikir keras mencari cara untuk menyelamatkannya.

Sebuah ide langsung terlintas di kepalaku.

Game ‘Zero’ itu.

Game itu adalah sebab musabab semua masalah aneh bin ajaib ini.

Aku berdiri dan buru-buru mengambil tas yang tadi kulempar begitu saja di depan pintu, kemudian mengeluarkan DVD game itu.
Aku menghidupkan TV 14 inchiku, kemudian mengaktifkan Playstation 2 yang sudah tersambung dengan TV.
Dengan berdebar-debar, aku memulai permainanku.

novel fatal frame chapter 4

Re: [Translation]FATAL FRAME - Hinasaki Mafuyu

Semua tulisan di buku alamatku kutulis menggunakan pensil agar mudah dihapus jika ada yang ingin diubah. Tapi, alamat dan nomor telepon mereka berdua hilang begitu saja dari posisinya, tanpa ada bekas dihapus.

Seolah-olah memang tidak ada sejak awal.

“Hinasaki-san, bagaimana kalau Anda telepon adik Anda dan tanyakan pada dia?” Pak Ioka mengusulkan.

Dengan terburu-buru aku kembali memeriksa HPku dan mencari nomor HP Miku. Tapi, nomor itu pun hilang.
Memikirkan kemungkinan nomor itu tak sengaja terhapus olehku sendiri, aku mengingat-ingat nomor Miku dan mencoba menghubunginya. Tapi, berapa kalipun kucoba, yang menerima malah suara komputer yang berkata, ‘Nomor yang Anda hubungi tidak tersambung.’

“Tidak mungkin.....Sampai Miku pun ikut menghilang juga?....”

Ini merupakan pukulan yang sangat keras bagiku.

Aku menyandarkan kepalaku di atas meja dengan lunglai.

Kepalaku rasanya mau pecah.

Aku tidak mengerti sama sekali. Kondisi ini seolah-olah membuatku jadi satu-satunya pihak yang salah paham di sini.

“Apa semua yang ada di game ‘Zero’ ini benar-benar fiksi belaka?” terdengar suara Pak Ioka bertanya, entah pada siapa.

Tidak ada yang menjawab, dan keheningan yang mencekam kembali menyelimuti ruangan.

Kemudian, tiba-tiba;

“Sebetulnya.....” Pak Shibaguchi membuka mulut. Aku langsung mengangkat kepala dan menatapnya.

“Tidak....Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, semua karakter disana murni fiksi...”

“Lalu Saya....”

Pak Shibaguchi mengangkat kedua tangannya menahan protesku. “Tu...tunggu dulu! Memang, dengan adanya Anda di hadapan kami seperti, mungkin sulit dipercaya. Tapi, sebenarnya, rumah yang jadi setting dalam game ini benar-benar ada. Coba Anda buka halaman 3.”

Aku buru-buru membalik halaman dokumen di hadapanku, dan menghadapi sinopsis cerita ‘Zero’.

Himuro Mansion
Tempat ini memiliki segudang legenda dan kabar angin yang tidak menyenangkan. Dikatakan sebagai tempat pembawa sial.
Kepala keluarga Himuro yang terakhir dikabarkan gila dan membunuh seluruh penghuni rumah ini.
Keluarga yang menempati rumah ini setelahnya mengalami ‘Kamikakushi’.
Setelahnya, sering ditemukan mayat terpotong-potong di sekitarnya selama beberapa tahun belakangan ini.
Diduga kasus ini erat kaitannya dengan rumah itu.
Takamine Junsei Sang novelis terkenal tertarik akan legenda ini dan memutuskan untuk menjadikannya bahan novel selanjutnya.
Dengan ditemani asistennya, Hirasaka Tomoe dan editornya, Ogata Kouji, Takamine mengujungi Himuro Mansion.
Tetapi sejak itu, kabar mereka tidak terdengar lagi.

“Tempat yang namanya Himuro Mansion ini benar-benar ada?” tanyaku pada Shibaguchi-san.

“Di tempat kelahiran Saya ada tempat yang sangat mirip dengan rumah itu. Waktu Saya masih kecil, Saya dilarang mendekati tempat itu. Kami menjulukinya rumah hantu. Rumah itu sampai sekarang masih berdiri tegak, kata ibu Saya waktu saya tanyakan lewat telepon belum lama ini. Padahal sudah 20 tahun berlalu. Karena itu, Saya jadikan ide untuk game ini saja.”

“Tempat itu memang hebat. Bisa dibilang itu Master Piece Saya.” Pak Kitaike berkata sambil tersenyum tipis.

Master Piece?

Apa aku salah dengar yang barusan itu?

Aku ingin bertanya untuk memastikannya, tapi tidak menemukan kata-kata dan alasan yang tepat untuk bertanya, jadi memutuskan diam saja.

“Waktu Saya masih kecil, rumah itu dijaga oleh seorang nenek. Tapi dia sudah meninggal sepuluh tahun silam, jadi sekarang rumah itu kosong sama sekali. Jadi, waktu survey mencari datanya, Saya menghubungi real estate sekitar situ. Tapi...”

“Ada sesuatu yang terjadi?”

“Yah....Bukan hal yang penting...Tapi....” Shibaguchi-san kelihatan enggan melanjutkan ucapannya. Tsukihara-san kemudian melanjutkan,
“Pada waktu Anda melakukan survey itulah Anda mencapat ilham karakter-karakter game ini. Iya, kan?”

“Ya.”

“Jadi, pada waktu berada di rumah itu Anda mendadak terbayang dan menciptakan Miku, si karakter utama, Mafuyu, sang Kakak yang bernama sama dengan Hinasaki-san, dan juga novelis bernama Takamine itu?” pak Ioka menyimpulkan.

Pak Shibaguchi mengangguk.

“Agak sulit dipercaya memang, tapi entah kenapa, saat berjalan di dalam rumah itu, mendadak saya mendapat ide, dan nama-nama para karakter utama itupun bermunculan di kepala Saya. Waktu itu Saya buru-buru mencatatnya supaya tidak lupa. Iya, kan Pak Kitaike?”

“Ya. Waktu itu Saya, Pak Shibaguchi dan seorang illustrator menjelajahi rumah itu menggunakan senter, karena walaupun masih siang, suasana di dalam sana gelap sekali. Pak Shibaguchi tiba-tiba berjongkok dan mulai mencatat sesuatu di notesnya. Waktu Saya coba mengintip, ternyata dia menulis beberapa nama. Nama-nama itulah yang kemudian dipakai dalam game ini. Nama-nama itu agak tidak lazim, jadi Saya sama sekali tidak menyangka ada orang yang bernama sama....Selain itu....”

“Ada lagi yang lain?” tanya Pak Ioka. Kali ini Pak Shibaguchi yang menjawab,

“Saya mendapat ilham nama disana. Tapi bukan hanya itu yang aneh. Ilustrator yang melihat nama yang saya tulis itu mendadak juga mendapat ide dan langsung membuat sketsa wajah para karakter itu. Sketsa itulah yang kemudian jadi dasar pembuatan polygonnya.”

“Dengan kata lain, nama dan wajah karakter Hinasaki Mafuyu yang persis dengan Hinasaki-san diciptakan pada waktu yang bersamaan, di tempat yang jadi setting game ini, begitu?”

Mendengar pertanyaan Pak Ioka itu, Pak Shibaguchi dan Pak Kitaike saling berpandangan dan menggelengkan kepala. Sepertinya mereka sudah kehabisan kata-kata.

“Sepertinya kita memang harus pergi kesana sendiri, ya...” Pak Ioka bergumam dengan suara rendah.

“Pergi...Kemana?” tanya Tsukihara-san.

“Tentu saja ke rumah bermasalah itu. Habis, aneh sekali, kan? Begitu ke rumah itu, tiba-tiba saja Pak Shibaguchi dan illustrator mendapat ide, yang bisa sebegitu persisnya dengan kondisi orang sesungguhnya. Menurut Saya, ini sudah tidak bisa dibilang kebetulan.”

“Eng...Saya tidak bermaksud memanas-manasi, lho. Itu kenyataan....” Pak Kitaike berkata.

“Tidak...Maaf. Soalnya terlalu banyak hal aneh disini. Begini, menurut Saya, semua misteri ini mungkin bisa terjawab jika kita pergi kesana. Iya, kan Hinasaki-san?” Pak Ioka menatapku. Aku tidak menjawab, tapi mengangguk dengan ragu-ragu.

Rumah itu memang agak mengganjal di pikiranku.

Tapi ini bukan karena semangat pekerjaan.

Takamine Sensei, Hirasaka-san, bahkan adikku, Miku, semua menghilang begitu saja, seolah-oleh mereka hanyalah khayalan belaka.
Aku merasa ditinggalkan seorang diri di dunia nyata, sementara mereka masuk ke dunia game yang berjudul ‘Zero’.

Aku ingin segera pulang dan melihat wajah Miku. Aku juga ingin memastikan keberadaan Takamine Sensei dan Hirasaka-san. Kepalaku sepertinya tidak sanggup untuk memikirkan hal lain selama belum memeriksa dan memastikan kedua hal itu.

“Maaf, Saya agak kurang enak badan. Saya boleh pamit duluan?” bisikku pada Pak Ioka. Pak Ioka, yang sepertinya sudah tahu perasaanku memandangiku dengan khawatir.

“Baik, saya mengerti. Pokoknya, Anda bawa saja dulu dokumen-dokumen ini dan pelajari di rumah.”

“Ah, kalau begitu, sekalian saja anda bawa pulang beta version ini. Ini sudah nyaris mendekati versi sempurnanya.” Tsukihara-san memberikan sebuah DVD padaku.

Aku menerima dokumen-dokumen dan DVD itu kemudian bergegas keluar dari kantor game maker itu seperti sedang dikejar-kejar sesuatu. Pak Ioka ikut pulang denganku.

Begitu tiba di Ichigaya, aku segera meninggalkan Pak Ioka dan menuruni tangga ke stasiun.

“Besok Saya akan melepon lagi. Pikirkan mengenai rencana ke rumah bermasalah itu, ya!!” samar-samar Aku mendengar Pak Ioka berkata begitu di belakangku.

novel fatal frame chapter 3

Re: [Translation]FATAL FRAME - Hinasaki Mafuyu

Hinasaki Miku
17 tahun.
Memiliki kekuatan spiritual yang kuat, yang merupakan kekuatan turun-temurun di keluarga Hinasaki, sehingga memungkinkannya melihat hal-hal yang seharusnya tidak terlihat. Ia hidup seperti gadis remaja biasa, tetapi di lubuk hatinya menyimpan perasaan takut dan tidak pernah membuka hati sepenuhnya, kecuali kepada kakaknya.
Hinasaki Mafuyu
21 tahun, Jurnalis.
Kakak kandung Miku. Satu-satunya orang yang tahu mengenai kekuatan Miku. Satu-satunya keluarga bagi Miku yang telah ditinggal mati oleh kedua orangtuanya.

Aku merinding membacanya.

Ini benar-benar kondisi kami berdua.

Tapi, ada yang aneh.

Kami tidak pernah sekalipun membicarakan kekuatan kami pada orang lain. Dan, ya, tentu saja, kami menyembunyikan fakta bahwa keluarga Hinasaki adalah keluarga memiliki kekuatan spiritual yang kuat.

“Kebetulan yang luar biasa.” komentar Pak Ioka. Pak Shibaguchi mengangguk dan melanjutkan,

“Memang aneh. Saya memang penulis ceritanya, tapi saya berani jamin bahwa semua karakter yang ada disini adalah murni ciptaan Saya sendiri. Dan Saya baru sekali ini bertemu dengan Hinasaki-san, jadi, maaf saja, baru kali ini juga mendengar namanya.”

Dia tidak terdengar seperti orang yang sedang bohong.

Aku sendiri juga menganggap, kalau hanya wajahku saja, mungkin dia pernah melihat aku atau fotoku entah dimana kemudian dijadikan model. Tapi, bagaimana dengan Miku?

Apa memang pernah terlihat juga, atau mungkin kebetulan memang ada orang yang mirip dengan dia kemudian dijadikan model?

Yang lebih penting lagi, kenapa rahasia kami berdua, kekuatan spiritual itu bisa ketahuan juga? Apa ini masih bisa disebut kebetulan?
Seolah meledekku, tiba-tiba aku kembali melihat hal yang mengejutkan di data karakter NPC (Non Play Character) yang ada di bawah keterangan karakter utama.

Takamine Junsei.
42 tahun, pengarang novel misteri.
Seorang pengarang terkenal yang karya-karyanya mencapai best seller. Selain misteri, juga mengarang novel non-fiksi. Berkenalan dengan Mafuyu saat tengah mencari bahan untuk pembuatan novelnya, dan sejak saat itu sering membantu agar Mafuyu mendapat pekerjaan.

Hirasaka Tomoe
28 tahun. Asisten Takamine
Memilih untuk menjadi asisten Takamine, dan belajar menulis novel di bawah bimbingannya.

Takamine Sensei adalah orang terkenal yang sering muncul di televisi atau media cetak. Masuk akal kalau beliau juga jadi model untuk karakter game ini. Hirasaka-san juga, pasti pernah muncul di majalah paling tidak.

Tapi, kalau memang beliau dipakai juga untuk model, kenapa sampai hubungan kami juga digambarkan begitu persisnya?

Sekonyong-konyong aku mendapat mulai mendapat gambaran apa yang sedang terjadi.

“Ini ide dari Takamine Sensei, ya?”

“Eh? Maksud Anda?...” Pak Shibaguchi tidak mengerti.

“Ide naskah cerita game ini. Ide awalnya dari Takamine Sensei, kan? Tugas ini diserahkan pada Saya juga karena rekomendasi beliau, bukan?” aku bertanya pada Pak Ioka.

Itu satu-satunya penjelasan paling masuk akal.

Karena aku pernah menyinggung kalau adikku punya kekuatan spiritual yang kuat pada Takamine Sensei.

Tidak salah lagi.

Hanya beliaulah orang luar yang tahu sampai sedetil ini tentang kami bersaudara.

Tapi, kalau memang begitu, aku harus protes keras untuk satu hal.

Aku sudah berkata, dan bahkan memohon pada beliau untuk merahasiakan tentang kami. Terutama tentang Miku yang kekuatannya jauh di atasku.

Dan sekarang, cerita itu hendak dijadikan ide cerita game.....

Aku merasa agak marah.

Walaupun beliau naik sekali padaku dan sering membantuku dalam mencarikan pekerjaan, ini sih namanya pelanggaran privasi orang lain.
Paling tidak, samarkanlah nama dan kondisi kehidupan sehari-hari kami.

Itukah sebabnya Sensei meminta Pak Ioka untuk menawarkan pekerjaan ini kepadaku? Jadi, pertemuan kami di kereta tadi bukanlah kebetulan?
Beliau mengetahui waktu dan tempat pertemuanku, kemudian menunggu, ingin bertemu denganku?

“Bagaimanpun juga, menurut saya ini melanggar privasi orang lain.” ucapku sambil berusaha menahan amarah.

“Tunggu dulu!! Kami benar-benar tidak tahu apa-apa. Ini kebetulan!” ujar Pak Shibaguchi cepat-cepat. Dia menatap Pak Kitaike untuk minta dukungan.

“Tentu saja.” jawab Pak Kitaike tenang.

Bagiku, sikapnya yang tenang itu malah menambah kekesalanku. “Kalian merencanakan ini dengan Takamine Sensei, bukan? Saya bertemu dengannya di kereta tadi.”

“Maaf, tapi siapa Takamine Sensei yang Anda maksud itu?” Pak Kitaike bertanya padaku dengan wajah serius.

“Eh?..Siapa...” aku tak melanjutkan ucapanku.

Walaupun dia orang yang kerjanya berkecimpung di dunia game, mana mungkin dia tidak mengenal Takamine Junsei? Apalagi mereka juga memakai beliau dan Hirasaka-san di dalam game ini. Wajah polygon mereka juga sama persis dengan aslinya.

Aku menatap Pak Ioka dengan kebingungan luar biasa. Tapi bukan dukungan yang kuperoleh, dia malah balik bertanya,

“Tokoh Takamine Junsei ini....ada model aslinya?”

“Pak Ioka!?”

Apa-apaan ini? Kalau hanya Takamine Sensei tak ada hubungannya dengan diberikannya pekerjaan ini padaku, masih mending. Tapi kalau melihat gelagat Pak Ioka, sepertinya orang bernama Takamine Junsei itu tidak pernah eksis.

Aku bingung. Sangat bingung.
Pak Ioka sepertinya melihat gelagat itu, sehingga dia langsung bertanya pada ketiga orang itu,

“Apakah Takamine Junsei ini menggunakan model orang yang benar-benar ada?” dia menatap Tsukihara-san, Pak Kitaike dan Pak Shibaguchi bergantian.

Mereka bertiga diam sejenak, kemudian Pak Shibaguchi memecahkan keheningan yang mencekam itu,

“Itu sama sekali tidak mungkin. Saya sudah bilang, bukan? Semua tokoh yang ada disini murni ciptaan Saya.”

“Ti...Tidak mungkin Anda sekalian tidak mengenal Takamine Sensei. Takamine Junsei, pengarang novel terkenal yang karyanya selalu menjadi best seller. Jika bukan begitu, bagaimana mungkin Saya bisa...menjadi karakter di game hingga sedetil ini?”

“Saya juga kaget. Jika Saya mengenal Anda, tidak mungkin Saya mentah-mentah meniru seperti ini. Pasti paling tidak akan Saya ubah wajah dan latar belakang kehidupannya.” ujar Pak Shibaguchi. Pak Kitaike kemudian menimpali,

“Itu benar. Kami sama sekali tidak mengetahui tentang Anda sebelum ini. Selain itu, Takamine Junsei juga hanyalah tokoh fiktif belaka. Kami tidak menggunakan model apapun untuk itu.”

Entah kenapa, dia terlihat begitu tenang saat mengatakan itu. Berbeda dengan Pak Shibaguchi, sepertinya dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi ini. Apa orang-orang yang berprofesi sebagai produser game itu memang seperti ini, ya?

“Jadi, menurut Anda, ini semua hanyalah fiksi belaka,begitu?...”

Suaraku bergetar karena amarah, aku tahu itu. Apa boleh buat. Aku tak mampu bermanis-manis menahannya lagi.

“Hinasaki-san, tolong tenang dahulu. Saya yakin ini hanya kebetulan. Apalagi selain itu? Kalau kami tahu bahwa karakter di game ini ternyata sebegitu miripnya dengan Anda, kami pasti akan memberitahukannya dahulu sewaktu mengontak Anda untuk menawarkan pekerjaan ini.”

“Lalu, bagaimana dengan Takamine Sensei?”

“Makanya, Saya bahkan tidak tahu ada pengarang novel bernama Takamine.” Pak Ioka berkata dengan serius.

Aneh!

Amarahku seperti tertelan oleh sesuatu yang kelam, dan berganti dengan perasaan was-was. Kalaupun ini semua cuma akal-akalan untuk mengerjaiku, untuk apa?

“Maaf...Apa ada komputer yang bisa akses ke internet?” tanyaku akhirnya.

“Apa yang hendak Anda lakukan?” Pak Ioka kelihatan khawatir.

“Mencari data mengenai Takamine Sensei. Dengan begitu semua akan jelas.”

“Tapi....walaupun begitu juga.....” sebelum Pak Ioka selesai berkata, Pak Kitaike memotong,

“Tidak apa-apa, kan? Silakan.”

Tsukihara-san segera pergi dan mengambil sebuah mobile persocon. Setelah internet mulai terkoneksi, aku masuk ke websearch, mengetikkan [Takamine Junsei], kemudian menekan enter. Takamine Sensei orang terkenal, jadi pasti banyak website yang menyebut nama beliau.

Betapa kagetnya aku ketika hasilnya ternyata justru kebalikannya.

Layar malah menunjukkan tulisan
HASIL: 0

Aku tidak mau menyerah dan mencoba memasukkan nama [Hirasaka Tomoe]. Karena namanya lebih umum, kali ini ada hasilnya. Tetapi, bukan mengenai Hirasaka-san yang kukenal. Aku mencoba sekali lagi, setelah memastikan dulu apa nama yang kuketik benar, tapi hasilnya tetap saja nihil.

Aku mencoba akses ke websearch lainnya, tapi tetap saja tidak ada hasil. Bahkan saat aku mencoba akses ke webstore pun, tidak ada satu pun karya Takamine Junsei disana.

“Tidak mungkin.....”

Aku mengecek daftar terbitan buku-buku, baik yang terbaru maupun yang lama. Karya-karya Takamine Sensei menghilang bagaikan ditelan bumi.
Ini seperti.....orang bernama Takamine Junsei tidak pernah eksis di dunia ini.

“Ini tidak mungkin....Pak Ioka...Tidak mungkin Anda tidak mengenal Takamine Sensei. Beliau yang mengenalkan Anda kepada Saya, bukan?!” aku menatap Pak Ioka dengan ekspresi nyaris putus asa. Tapi, Pak Ioka tetap dengan ekspresinya semula, ekspresi tidak mengerti apa-apa.

Pandangan mataku rasanya jadi gelap.

“Saya bertemu beliau di kereta tadi. Hirasaka-san juga bersama Beliau. Betul!”

Aku tidak bohong....Percayalah....

Aku menatap para game maker itu sambil terus berdoa seperti itu di dalam hati.

“Hinasaki-san, apa Anda punya alamat atau nomor telepon Takamine Sensei yang Anda maksud itu?” Pak Kitaike bertanya dengan tenang.

Oh, ya! Itu bisa dicoba juga!

Aku mengambil HP dari dalam tas dan memeriksa phonebooknya. Aku mencatat nomor telepon tempat kerja dan kediaman Takamine Sensei disana. Sekalian dengan nomor telepon rumah Hirasaka-san juga.

Aku yakin telah mencatatnya, tapi, dicari bagaimanapun juga, nomor-nomor itu tidak ada sama sekali di HPku.

Aku kembali membongkar tasku dan mengambil buku alamat yang biasa kubawa-bawa. Tapi, hasilnya sama saja.